Andai saja saya kenal akrab Sultan Hamid II dari Pontianak, saya usulkan padanya supaya meletakkan Bhinneka Tunggal Ika di atas perisai Garuda Pancasila dalam bingkai hati. Soalnya memang itulah jantung hati Pancasila, tetapi sebagaimana semua menerima keputusan MK tadi malam, saya juga tak akan mengutak-atik apa yang sudah ditetapkan Sidang Kabinet RIS 11 Februari 1950 itu.
Ide itu muncul ketika saya membaca teks bacaan pada Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus [lama-lama saya pikir ini Gereja Katolik dêmên banget ama hari raya, kok gak dibikin merah aja ya kalendernya?]. Bacaannya omong soal gembala yang mencari dan menyatukan kawanan domba yang tercerai berai dan domba yang tersesat. Ha ini klop dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika toh?
Saya baru ngêh bahwa sebetulnya itu bukan cuma moto atau semboyan, melainkan semangat atau roh dasar Pancasila: yang bineka itu tetap hidup dalam kesatuan. Para pemikir boleh saja omong banyak soal Pancasila dengan teori yang sangat njêlimet, tetapi kalau mereka tidak menggunakan perspektif hati Pancasila ini, omongannya ya berhenti di corong suara atau di jurnal-jurnal internasional terindeks Scopus.
Saya bocorkan rujukan saya di sini, tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Namanya pernah saya sebut di blog ini sih, seorang pendeta GKI di Jakarta, tapi sudah meninggal sebulan sebelum saya ditahbiskan imam: Eka Darmaputera. Dari karya-karya beliau saya merumuskan bahwa roh Pancasila itu ada dalam moto Bhinneka Tunggal Ika, meskipun sebelum membaca karya-karyanya saya sudah mengendus-endus bahwa manifestasi Pentakosta di Indonesia ada dalam momen Kebangkitan Nasional sih. Karya-karya beliau meyakinkan saya dalam konteks akademis, yang tidak akan saya bocorkan di sini.
Saya menyodorkan itu cuma untuk mengatakan bahwa gambaran hati Allah itu bukan gambaran semu karena sangat konkret bahkan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara. Kebinekaan itu suatu keniscayaan dalam ranah kehidupan mana pun, bahkan dalam setiap diri pribadi orang beriman sudah ada kebinekaan. Kalau mau rada runyam sedikit silakan baca halaman Psikologi Campur Aduk, dan jika menangkap poin di situ kiranya dapat dipahami kewarasan orang terletak pada kemampuannya untuk mengutuhkan kebinekaan dalam dirinya sendiri, yang kerap kali bisa saling bertentangan.
Di situlah hati Allah menjalankan fungsinya dan benarlah jawaban anak SD ini, tetapi mengapa ditertawakan warganet?
Tentu saja warganet menertawakan jawaban polos itu karena anak SD itu tidak membedakan antara fungsi biologis dan fungsi psikologis, apalagi fungsi teologis!
Akan tetapi, di balik tertawa itu, orang beriman perlu mawas diri jangan-jangan mereka cuma bisa memahami fungsi biologis sehingga apa-apa saja ditangkap secara biologis. Jangan kira ini konsekuensinya enteng loh!
Bisa Anda bayangkan dong kalau Allah dan agama dipahami secara biologis semata. Sayangnya, itulah yang terjadi: agama dan Allah diperlakukan seperti barang yang bisa dipakai atau dibuang, diperalat untuk kekuasaan ideologi politik yang berbau-bau religius tapi berujung pada diskriminasi. Ini tak sesuai dengan hati Allah, tak sesuai juga dengan hati Pancasila. Bisa jadi, hati Allah itu memang adalah hati Pancasila.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami mampu mengaktualkan hati-Mu dalam hidup sehari-hari. Amin.
HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS
(Jumat Biasa XII C/1)
28 Juni 2019
Yeh 34,11-16
Rm 5,5b-11
Luk 15,3-7
Posting Tahun 2016: Takut Kehilangan
Categories: Daily Reflection
Tulisan anak SD nya bagus banget ya, sangat berkarakter. SD aja sudah begitu… Wah kudu optimis dengan masa depan Indonesia yang cerah.
Hooh, yang penting itu bukan Pancasila dalam teori, tetapi Pancasila dalam hati. Hidup dengan Hati Pancasila dan Darah Garuda. He he he
LikeLike
😂😂😂 Merdeka!
LikeLike