Takut Kehilangan

Apa saja yang menyenangkan atau kita percayai akan memberi kepuasan, biasanya akan berujung pada kecintaan terhadap hal-hal itu dan kalau kita begitu yakin bahwa itulah yang terbaik, ‘itu’ itu jadi harta berharga yang terus bersemayam di kedalaman batin kita. Tentu, tak sedikit yang jadi sumber kekecewaan, yang hanya merupakan ilusi. Tak sedikit harta berharga itu yang lenyap dalam satu kedipan mata atau berubah dari kesenangan sesaat menjadi kesedihan yang pahit atau kepahitan yang menyedihkan.

Tuhan kiranya sudah tahu kemungkinan seperti itu dan karenanya Ia mengingatkan orang supaya tidak mengumpulkan harta berharga nan palsu itu. Sekali lagi, harta berharga yang palsu itu tak bisa dilekatkan pada uang, kekuasaan atau jabatan, atau seks, misalnya, tetapi pada cara orang berelasi dengan hal-hal itu. Paulus berteriak lantang yang bisa diterjemahkan kurang lebih: carilah perkara-perkara yang di atas! Ini pasti bukan soal omong suci tentang Allah, agama, ritual alias liturgi (halah disebut lagi), melainkan soal mengarahkan atensi dan aktivitas kita pada kemuliaan Allah pada saat kita menata perkara-perkara horisontal yang ‘di bawah’ ini.

Imaji yang dipakai Yesus dalam perumpamaan hari ini sangatlah kuat untuk menunjukkan kemurahan cinta Tuhan yang begitu concern, atentif terhadap umat manusia. Tuhan tahu ‘ketakutan’ yang bisa muncul dari cinta sebagaimana diketahui mereka yang juga sedang ‘jatuh’ dalam cinta-cintaan: takut kehilangan hal yang dicintainya… dan kalau yang dicintainya itu memang hilang dan lalu kembali, kebahagiaannya begitu warbisayak!

Berarti yang Romo bilang takut kehilangan sebagai indikator cinta palsu itu keliru dong; Tuhan sendiri mengakui tuh betapa Dia pun takut kehilangan!!!

Sebentar, Brow! Meskipun perumpamaan itu bisa dipakai untuk memaklumi suatu ketakutan akan kehilangan sosok yang dicintai, ketakutan itu tidak bermuatan kepentingan narsistik. Tuhan takut kehilangan manusia, bukan karena Dia gak bisa hidup tanpa manusia, melainkan karena Dia begitu concern pada kebaikan hidup manusia sendiri.

Bandingkan saja dengan rasa takut kehilangan kita: kita takut kehilangan hal yang kita cintai karena tanpa itu hidup kita gak karuan, tanpa itu hidup ini berat, tanpa itu kita tak bisa hidup bahagia, dan sejenisnya. Dengan kata lain, takut kehilangan kita pada umumnya merupakan indikator cinta bersyarat, bukan indikator atensi terhadap kebaikan sesama.

Bayangkan seorang ibu yang berjibaku sendiri dengan tertatih-tatih menyekolahkan anaknya sampai pada momen kritis ketika ia mesti menanggung sejumlah uang yang irasional untuk standar hidupnya demi sekolah anaknya yang tak memberi jaminan apapun apakah ia akan menyelesaikan sekolahnya atau tidak. Ia bisa takut kehilangan uang atau kerja kerasnya (untuk menebus sejumlah besar uang itu), tetapi ia bisa juga takut kehilangan dalam arti anaknya tak bisa mengapresiasi sekolahnya sendiri.

Ketakutan pertama bisa jadi yang lebih umum hinggap dalam diri orang, dan bukan ketakutan macam itu yang ada dalam hati Yesus yang dirayakan Gereja Katolik hari ini. Ketakutan kedua tidak mengurangi tekadnya untuk bekerja keras sembari mengkondisikan supaya anaknya tidak tersesat, supaya anaknya bisa menguak AMDG.

Ya Tuhan, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu. Amin.


HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS
(Jumat Biasa IX)
3 Juni 2016

Yeh 34,11-16
Rm 5,5b-11

Luk 15,3-7

Hari Raya Hati Yesus B/1 Tahun 2015: Hukum Mati Pembunuh Angeline?
Hari Raya Hati Yesus A/2 Tahun 2014: Hati Yesus yang Mahakudus