Apa jadinya etiket atau label pada produk makanan atau minuman tak sesuai dengan isinya? Ini meme yang beredar di seputar hari raya:
Dalam teks bacaan hari ini ada label yang baru saya perhatikan tadi sewaktu membacanya: Yeremia. Ketika para murid ditanyai soal pendapat mereka mengenai guru dari Nazareth itu, mereka melontarkan beberapa label: Yohanes Pembaptis, Elia, dan Yeremia. Yohanes Pembaptis kiranya masih dekat dengan kehidupan mereka. Elia begitu legendaris dan mestinya lekat dalam memori mereka. Yeremia?
Barangkali karena guru dari Nazareth itu dalam arti tertentu mirip dengan Yeremia sebagai sosok pendamai. Maksudnya, seperti Yeremia yang tidak meributkan penjajahan bangsa asing dan menyampaikan suara kenabiannya dengan tindakan-tindakannya, guru dari Nazareth itu juga rupanya tidak berkonfrontasi dengan bangsa penjajah Romawi. Yang dia lawan bukan bangsa penjajah Romawi, melainkan mentalitas yang bisa menghinggapi baik bangsa penjajah maupun bangsa terjajah. Guru dari Nazareth ini tidak memerangi bangsa kafir, tetapi mengkritik paradigma korup yang bisa dihidupi baik oleh orang beragama maupun tidak.
Sampai di situ saja rasanya sudah inspiratif: ini sosok yang melawan kekuatan dosa, tetapi merangkul pendosa. Pada kenyataannya tak mudahlah membenci dosa dan mencintai pendosa, bukan?
Itu hanya satu label yang dilekatkan orang kepada guru dari Nazareth itu. Label definitif yang diberikan murid-murid-Nya kemudian jadi skandal bagi bangsa Yahudi: Mesias. Bukan hanya bagi bangsa Yahudi, bahkan, label itu juga jadi pertentangan di sana-sini setelah Paulus yang dirayakan Gereja Katolik hari ini, seiring dengan kepemimpinan Petrus, mewartakan label itu seluas dunia.
Saya tidak begitu tertarik pada label yang sudah ditempelkan pada guru dari Nazareth itu, tetapi pada dua murid yang punya karakter yang berbeda ini. Semuanya punya andil dalam pewartaan kabar gembira dan itu mengindikasikan bahwa kabar gembira itu secara teoretis bisa masuk dalam kultur manapun karena, seperti dosa bisa merasuki aneka macam kultur, para pendosanya pun bisa memeluk kabar gembira yang melepaskan mereka dari ikatan dosa itu. Problem atau konflik muncul biasanya berkenaan dengan ungkapan kultur (sunat, makanan haram, perayaan ritual, dan lain-lainnya), bukan kabar gembiranya (kemanusiaan, keadilan, kedamaian, kebahagiaan). Dengan kata lain, semakin orang dekat dengan kabar gembira, semakin relatiflah label, sehingga orang tak perlu ribut karena label, bisa dibicarakan baik-baik.
Ya Tuhan, mohon rahmat keteguhan hati untuk berfokus pada kabar gembira-Mu lebih daripada ambisi-ambisi manusiawi kami yang kerap kami bungkus dengan mengatasnamakan Engkau. Amin.
HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS
(Kamis Biasa XII B/2)
29 Juni 2018
Kis 12,1-11
2Tim 4,6-8.17-18
Mat 16, 13-19
Posting Tahun 2017: Met Ultah Pak Ahok
Posting Tahun 2016: Mari Berbuka
Posting Tahun 2015: Ada Baiknya Bertengkar
Posting Tahun 2014: What You Choose Is What You Get
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.