Pasti Pas

Memang setiap orang cenderung mencari kepastian, dan dari hampir setengah abad hidup yang saya jalani ini saya ketahui bahwa kepastian itu justru ada dalam ketidakpastiannya. Nah, rak sok filosofis-filosofisan gitu kan jadinya. Padahal ya sudah sejak zaman SD saya dengar istilah Ilmu Pasti Alam yang di dalamnya jebulnya juga ada anomali-anomali.
Persis satu windu lalu saya merumuskan hidup saya sebagai rangkaian hidup dalam ketegangan, bukan dalam arti film thriller, melainkan dalam arti bahwa saya senantiasa masuk dalam pilihan atas pendulum oposisi biner: kiri-kanan, progresif-konservatif, mendalam-meluas, aktif-kontemplatif, dan seterusnya
.

Dalam aneka ketegangan itu, eh… sebentar, tepatnya sih tegangan ya, dalam aneka tegangan itu saya mesti melakukan kompromi untuk mencari kepastian, meskipun saya tahu bahwa kadar kepastian itu cuma sekian persen. Begitulah saya menangkap alegori yang disodorkan dalam bacaan pertama hari ini: Abraham yang melakukan bargaining dengan harapan kota Sodom dan Gomora, tempat tinggal Lot, tidak dihancurkan. Pikirnya, Allah gak mungkin menghancurkan kota itu kalau ada sekian persen umat beriman. Dari proses bargaining itu bisa diketahui bahwa batasnya 20% saja. Kalau ada sepuluh orang beriman saja, kota itu tak akan dihancurkan. (Anehnya, seperti juga dalam bacaan kemarin, orang beragama memakai cara berpikir yang berkebalikan: kalau ada 20% saja orang brengsek, biarlah tersambar petir itu mereka semua!)

Akhir ceritanya bicara lain: tak ada 20% orang beriman di Sodom dan Gomora sehingga Allah menghancurkan kota itu. Jangan tanya pada saya apakah cerita itu benar-benar terjadi karena nanti saya balik bertanya apa yang Anda maksudkan benar-benar terjadi. Salah satu poin dari alegori itu ialah bahwa ternyata beriman itu (dalam perspektif Kristiani: mengikuti Kristus) tak segampang memeluk agama tertentu.

Ketika Anda terpesona oleh seseorang atau suatu ‘ideologi’ yang kuat, bisa jadi muncul keyakinan bahwa Anda akan memulai jalan yang penuh kepastian dan jaminan. Akan tetapi, kalau Anda kepincut Allah, ceritanya jadi lain. Dia memanggil Abraham cuma dengan indikasi keluar dari cangkangnya, mengusulkan proyek hidup tanpa agenda yang jelas dan prospek keberhasilannya juga mungkin kecil. Kepada ahli Taurat yang terkagum-kagum dan bertekad hendak jadi pengikut, Guru dari Nazareth malah menyatakan bahwa tak ada tempat nyaman untuk berlindung bagi umat beriman.

Tentu saja, maksudnya seperti saya sampaikan kemarin. Meskipun bacaan dari teks berbeda, ceritanya mirip. Orang beriman mesti bergerak dari ‘asal gak susah’, menuju ‘meskipun susah’, sampai ‘justru karena susah’ dengan gembira hati. Dengan itu, dia gak hanya menyatakan kemiskinannya, tetapi juga menegaskan sikap lepas bebasnya terhadap jaminan kepastian yang dicari orang kebanyakan.
Menjadi orang beriman bukan pertama-tama soal menerima suatu doktrin atau ajaran agama, melainkan soal menerima (misteri) Pribadi yang menyodorkan panggilan kepada kultur kehidupan. Maka, ini bukan soal menafikan peran agama, melainkan soal keterpautan kokoh terhadap misteri Pribadi di balik agama itu. Alhasil, orang macam begini bukannya hendak mengecilkan makna agama, yang bisa jadi tempat persembunyian eksklusif, melainkan membawa agama supaya sungguh jadi rahmat bagi semua.

Ya Allah, semoga jaminan dan kepastian hidup semata-mata kami letakkan dalam nama-Mu. Amin.


SENIN BIASA XIII C/1
1 Juli 2019

Kej 18,16-33
Mat 8,18-22

Senin Biasa XIII B/2 2018: Iman Bersembunyi
Senin Biasa XIII C/2 2016: Jangan Ngikut Orang Kristen
Senin Biasa XIII A/2 2014: Social Injustice: Mass Offside