Sebagian umat merasa terpukul ketika anaknya mulai terindikasi kepincut agama lain. Bapaknya aktif dalam kegiatan agama, jadi ketua dewan, omnya bahkan pemuka agama, lha kok anaknya ini malah mau kawin dengan orang beragama lain?
Andaikan ada pastor di gereja anu. Idenya keren dan umatnya semua bersemangat dengan aneka kegiatan yang dicanangkannya untuk aktif baik dalam kegiatan gereja maupun masyarakat. Maka, ada beberapa orang yang mesti bekerja ekstra daripada orang lainnya, dalam arti duitnya atau waktunya atau dua-duanya. Kegiatan berjalan lancar, sukses, dan terus menarik umat lainnya untuk aktif.
Apakah umat yang sibuk ini pernah mengamati pergolakan anggota keluarganya? Apa yang diimpikannya, dirindukannya, keprihatinan, konflik dan problemnya? Apakah umat yang sukses jadi koordinator kegiatan itu tadi juga menata keluarganya lahir-batin? Lebih dari itu, apakah umat yang sukses jadi panitia ini itu tadi sadar betul dari mana datangnya dorongan untuk aktif itu (jangan-jangan justru karena mau kabur dari persoalan keluarga!)?
Saya kembali ke posting Salam Pandir: bisa jadi umat beragama, bahkan pemukanya, salah tangkap. Yang ditangkap cuma aktivitas, kegiatan, proyek, programnya, bukan ‘roh’ dari mana datangnya kegiatan itu.
Lha justru itu, Rom, mosok Romo gak tau ada kegiatan proselitisme lewat gerakan kawin tanpa pacaran? Itu kan bikin anak-anak kita murtad, tak mau lagi ikut kegiatan agama sendiri! [Lha apa selama ini tidak murtad (dalam pikiran)?]
Ya taulah, wong teman saya bikin penelitian itu kok.
Ha kok Romo malah tenang-tenang aja kalau anak saya kepincut orang beragama tetot dan nanti ujung-ujungnya dikawini dan jadi beragama tetot?Apa Bapak maunya saya gak tenang dan sulit tidur karena anak Bapak bakal pindah agama gitu po?
Ya bukan, mbok bantu mikir gimana supaya anak saya tidak kepincut orang beragama tetot dan pindah agama gitu!
Lha Bapak sendiri aktif sana sini selama ini pernah mikirin itu gak? Mosok jatuh bangun ke sana kemari dengan label pelayanan bahkan pendalaman iman njuk habis waktunya sampai tak pernah duduk atau tamasya bersama anggota keluarga dan sendiri melakukan pendalaman iman? Habis gitu, setelah terlihat anaknya mulai kepincut orang yang beragama tetot baru deh heboh seperti para murid yang ketakutan dan berusaha membangunkan guru mereka yang sedang tidur!
Narasi hari ini menantang saya dan Anda bukan untuk ribet dengan perang label agama. Seharusnya agama jadi kendaraan untuk beriman, tetapi de facto bisa jadi topeng persembunyian dari ketidakmampuan orang untuk menata kemanusiaannya sendiri, menata relasi intimnya dengan Allah. Begitulah briliannya roh jahat: menuntun orang masuk ke tempat persembunyian yang tak terduga-duga, yaitu tempat yang seharusnya jadi jalan menuju Allah.
Ini sudah jamak bagi orang beragama yang tak kunjung dapat menjawab pertanyaan “What are you looking for?” dalam hidupnya karena jadi korban indoktrinasi atau ideologi agama. Dalam kondisi itu, agama bisa jadi alat apa saja untuk menakut-nakuti orang lain, yang nota bene dilakukan oleh orang-orang yang ketakutan.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menemukan panggilan sejati-Mu juga dalam agama yang kami hidupi. Amin.
HARI SELASA BIASA XIII C/1
2 Juli 2019
Selasa Biasa XIII A/1 2017: Save Our Souls
Selasa Biasa XIII C/2 2016: Tuan Anjing
Selasa Biasa XIII B/1 2015: Njawil Kristus
Selasa Biasa XIII A/2 2014: Dormant God
Categories: Daily Reflection
Selamat pg Rm, sy baca dan komen dr page ini (bukan dr fb Olive) krn bisa langsung buka link rujukannya (Salam Pandir tsb). Sebenarnya memang nyangkut dg kekuatiran pribadi atas iman anak yg udah mulai mandiri dan melesat spt panah terlepas dr busurnya. Tp rasa2nya background yg Rm tulis tidak pas buat situasi kami, intinya sh*t happens lah, dan tetap kita mau usahakan win2 supaya si mama gak kehilangan kontak ke anak dan sebaliknya anak gak nekad atas nama cinta🤤 Rasa2nya kalau mau ukur kadar kasih & perhatian (termasuk pengorbanan) buat anak mungkin udah absolute levelnya (dr sudut pandang sy ya), jadi gak sesuai pengantar Rm di atas. Apakah kekuatiran sy adalah karena sy korban indoktrinasi agama spt pemaparan Rm di atas? Sy cukup inklusif krn background selama ini yg cukup luas dlm keragaman, tp soal seiman dlm pasangan, dr mulai nilai iman pribadi & contoh nyata sekitar kita: pasangan seiman itu harga pas deh. Tapi tulisan Rm pagi ini seakan2 melihat kita jadi kayak perang label (agama). Mohon maaf kalau sy salah persepsi. Berkah dalem🙏
LikeLike
Halo Bu’, mungkin baik dilihat secara dua arah ya, dua sudut pandang, kalau perlu malah berbagai arah. Memang soal ini bisa bikin kita kalang kabut. Kalau Ibu berkenan ke yang sedikit agak akademis, silakan buka seri https://versodio.com/publikasi/saat-tuhan-tiada/psikologi-campur-aduk/ dan https://versodio.com/2014/06/08/keluarga-modern-vs-posmodern-1/
Sebetulnya itu bukan cuma soal ‘keluarga’, karena yang melembaga bukan cuma keluarga. Maka, agama juga perlu becermin dari situ. Sayang sekali, bisa jadi kebanyakan orang memandang agama itu seperti barang statis yang bisa dijadikan objek dengan label tertentu sehingga bisa dikuantifikasi. Artinya, yang dilihat bukan lagi ‘roh’ agama, melainkan ‘label’nya. Apakah kekhawatiran Ibu itu indikasi Ibu adalah korban indoktrinasi? Ibu sendiri yang bisa menilai karena saya hanya bisa melihat dari luar. Korban indoktrinasi cuma bisa bergerak ‘dari luar ke dalam’ atau ‘dari label inshaallah ke substansi’. Kalau orang bukan korban indoktrinasi, ia bergerak dari ‘substansi ke label’ dan label itu bisa tetap atau berubah. Problem ‘pasangan seiman harga pas’ ialah bahwa ‘seiman’ itu kerap kali lebih dilihat sebagai ‘selabel’ daripada ‘sesubstansi’ atau ‘satu roh’. Maka, pe er orang beragama memang adalah soal menularkan ‘roh’ itu, yang utk zaman sekarang sama sekali gak gampang, termasuk untuk mengklaim bahwa ia sudah menularkannya. Barangkali yang ditularkannya ya tetaplah label. Nah, jadi banyak label kan… perang label deh….
LikeLike
Wow such extensive references! Udah dibaca dan bagus banget sih dan yeaah sangat futuristik juga konsep keluarganya, terutama yg postmodern (posmo) vital: flawless banget deh buat posmo minds tapi memang pasti gak akan bisa jalan dg konsep institusi pernikahan secara Katolik yang kita adopsi selama ini. Dan sy jadi menangkap jg mengapa Rm bilang agama harus sesuaikan peran supaya gak ke sabotase oleh new-age religion/s yg bisa lebih mampu menawarkan comfort buat konsep keluarga modern dan keluarga posmo vital ini. Bukannya saat ini di negara2 Barat sana sudah adopsi prinsip keluarga vital dg segala fleksibilitas nilai2 termasuk peran agama? Tapi bukannya malah membuat masyarakatnya makin sekuler karena begitu banyaknya pertimbangan2 yg harus fit in: agama bahkan diminta utk bersifat fleksibel utk menyesuaikan dg konsep posmo vital ini supaya bisa tetap ada peran? Ini referensi bacaan2 yang luar biasa membuka wawasan, tapi secara keseluruhan kok gak terlalu sejalan dg pemikiran sy Mo, maafkan krn sy msh agak kuno secara mentalitas 🤭 Tp sy setuju kalau unilateral authority ortu udah gak cocok utk saat ini, harus ada compromising ke anggota keluarga lainnya (aka anak dalam kasus sy) dan itu sy sudah coba aplikasikan pelan2 sih tp konsep idealis itu kan mencakup demikian banyak unsur. Menurut Rm sendiri apakah konsep keluarga posmo vital gini bisa cocok dg nilai kekatolikan kita meski nanti Katoliknya mau coba menyesuaikan dlm bentuk apropriari tradisi? Apalagi adanya kecenderungan yg bisa timbul sbg akibat dr pembebasan seksualitas dr keterkungkungan institusional seperti gagasan Foucault tsb (yang penting konsensual). Duh🤭 creative fidelity: imut2 judulnya tapi kayaknya bakal too good to be true utk masyarakat kita detik ini hehe entah kalau satu, dua atau tiga dekade ke depan. But u really provide excellent insights from various perspectives🙏
LikeLike
Keluarga vital (gak pake posmo) maksudnya memang supaya jadi breakthrough Bu, biar pokok penting tradisi tetap bisa hidup. Menurut saya, justru itulah yang diusahakan Yesus dari Nazareth; dia memelihara ‘roh’ Taurat, tetapi kan pada kenyataannya memang orang cenderung melihat wujudnya, maka ya balik lagi ke perang label tadi. Saya kok tetap percaya nilai katolik itu tetap langgeng, sejauh itu memang benar2 katolik (yang artinya justru universal); yang lain2nya mesti disesuaikan.
LikeLike
Thank u Rm. Dg respon Rm di atas sy baca ulang secara menyeluruh ketiga bentuk keluarga alternatif sesuai link kemarin dan jadi makin bisa ikut menarik simpul berdasarkan proposisi Rm ini. Setuju harusnya nilai universal Katolik tetap bertahan tapi juga cukup elastis utk mengakomodir kontraksi2 di masyarakat krn adanya kemajemukan yg ada. Tapi ada kemungkinan juga kan kalau apropriasi nilai yg cocok di belahan kontinen tertentu belum tentu cocok utk di negara2 lain. Jangan sampai konsep nya jadi maksa: one size fits all. Proposisi dr tulisan tsb (keluarga vital) memang bagus ya, semoga practicality nya juga doable artinya bisa diterima hampir di semua lapisan. Gak seru juga penerimaan kemajemukan dg segala pernak-perniknya hny di keluarga tertentu, lalu kalau anaknya merid dg anak yg dr latar yg masih traditional banget pandangannya, jomplang jadinya dong Rm. Idealisme nya gak akan kecapai. Thanks again Fr. Andre for elaborating, nambah wawasan banget 🙏
LikeLike
Iya Bu sama2. Memang di dunia ini yg ideal gak ada, hahaha…selalu dalam tegangan. Sekurang2nya dari keluarga2 yg sy jumpai di Eropa, keluarga vital itu sangat mungkin kok. Di Indonesia juga ada. Tentu manifestasinya beda2 tapi prinsipnya sih begitu.
LikeLike
Ya lah Rm hehe Idealisme hanya milik Yang Di Atas 😁 Tapi ketegangan dlm keluarga (yg wajar2) perlu juga sebenarnya biar hidup makin berwarna, karena seninya ada di make-up process nya yg membuat relasi keluarga itu (atau any relationships including friendship) makin indah dan meaningful. Kebanyakan penerimaan orientasi keluarga vital ini juga tergantung wawasan keluarga ybs, ya jadi semoga di Indonesia tidak malah set-back (melihat situasi terkini) krn idealnya konsep keluarga vital ini buat segala umat. Tabik🙏
LikeLike