Jika Anda berkunjung ke tempat sahabat dan anjingnya menggonggong gak karuan, Anda tak perlu takut kepada anjingnya saat sahabat Anda di situ. Kenapa? Karena tuan dari anjing itu ada di situ dan si anjing hampir bisa dipastikan di bawah kontrol tuannya. Dengan satu gerakan tangan atau satu teriakan saja ia bisa menghentikan aksi anjingnya. Kiranya mirip-mirip dengan itulah Matius punya motif untuk menarasikan kisah yang dikutip hari ini.
Cara menarasikannya menarik, yaitu dengan membuat kontras antara Yesus dan murid-muridnya. Para murid itu bukan nelayan pemula, mereka profesional, dan tentu tahu betul bahwa di danau itu memang kadang bisa terjadi angin kencang yang menyeruak dari celah batu pada gunung tinggi di sebelah danau. Mereka kiranya pernah mengalaminya dan artinya mereka memang bisa survive. Akan tetapi, entah mengapa kali ini mereka begitu heboh dan berteriak-teriak, barangkali seperti orang kesurupan, bahwa mereka akan binasa. Bisa jadi ini memang badai yang jauh lebih hebat dari badai-badai sebelumnya sehingga mereka begitu frustrasi dan ketakutan. Sementara itu, Yesus malah tidur.
Hebohnya para murid dan tidurnya Yesus ini ditampilkan Matius bukan untuk mengatakan bahwa Yesus sedemikian lelahnya sampai-sampai bahaya mengancam pun tak dirasakannya. Ngapain coba Kitab Suci ditulis cuma untuk mengatakan bahwa orang capek layak mendapat upahnya (i.e. tidur!)? Matius tak hendak mengisahkan Yesus yang capek, tetapi Yesus yang mênêp, yang mengekspresikan kepercayaan yang meneduhkan terhadap kuasa Allah sendiri atas kehidupan. Ini dikontraskan dengan reaksi para murid, yang punya profesionalitas untuk meng-handle perkara-perkara teknis profesi tetapi tak menyertainya dengan kepercayaan dan kepasrahan hidup kepada Allah.
Memang para murid itu tak pernah dengar ungkapan let’s do the best and let God do the rest (karena mereka tak paham bahasa Inggris) akan tetapi bukan berarti makna ungkapan itu tak tersedia dalam hidup sehari-hari mereka. Yesus berulangkali mengatakan nasihat dengan nuansa serupa, tetapi para murid itu toh ya masih plonga-plongo saja tak bertindak seturut roh yang diwartakan Yesus. Mereka bahkan tak mengerti siapa orang yang kepadanya mereka nyantrik. “Orang-aring macam apa ini kok bisa angin dan danau taat padanya?”
Tuhan bisa jadi sosok yang aneh dan asing jika orang tak bergaul baik-baik dengan-Nya. Seperti orang yang takut pada gonggongan anjing sahabatnya sementara sahabatnya ada di dekat anjing itu, barangkali pantas jadi bahan pertanyaan seberapa jauh orang memiliki trust kepada Allah, sahabatnya, untuk meng-handle hidup ini tanpa meniadakan profesionalitasnya sendiri. Memang begitulah tegangan yang disodorkan Matius: pasrah tenang kepada Allah, tapi berbuat sesuatu. Kebanyakan orang jatuh pada satu ekstrem: spiritualisme atau aktivisme.
Itu mengapa orang salah kaprah merumuskan adagium: berusaha/bekerja sekuat tenaga seakan-akan semuanya bergantung pada kita dan berdoa seserius mungkin seolah-olah semuanya bergantung kepada Allah. Kontras yang disodorkan Matius hari ini lebih tepat dimengerti dengan adagium yang sesungguhnya: berusahalah sekuat tenaga seolah semuanya bergantung pada Allah dan berserahlah sedalam mungkin seolah semuanya bergantung pada kita sendiri. Ini tak terjadi kalau sosok Allah digambarkan sebagai hakim kejam, dan bukan sebagai sahabat yang pengertian.
Tuhan, kami percaya pada-Mu. Amin.
SELASA BIASA XIII
28 Juni 2016
Posting Selasa Biasa XIII B/1 Tahun 2015: Njawil Kristus
Posting Selasa Biasa XIII Tahun 2014: Dormant God
Categories: Daily Reflection
syalom
LikeLike