Ini bukan kisah sebenarnya, tetapi sudah ada preseden yang mungkin pernah kita dengar. Seorang yang sangat kaya raya menjaga lingkungan tinggalnya sedemikian higienis demi menghindari penularan penyakit yang mematikan. Setiap tamu, siapa pun dia, mesti melalui beberapa portal untuk meminimalisir transfer kuman dan bakteri dari luar ke lingkungan rumah tinggalnya. Pokoknya, ia berdaya upaya mencegah segala kemungkinan yang bisa membuatnya sakit sehingga orang-orang di sekitarnya pun terkena dampak aneka kerempongan demi menjaga kesehatan orang ini. Memang ia senantiasa sehat walafiat, tak pernah sakit sekecil apa pun, apalagi ditunjang oleh gaya hidup makannya yang sehat, meditasi dan yoga yang teratur, ia benar-benar senantiasa bugar. Ia meninggal relatif belum begitu tua karena kecelakaan di jalan raya…
Jika orang mengerti sungguh azas dan dasar, ia bisa mendeteksi kerancuan sebuah pernyataan yang diatributkan pada Ignasius Loyola, seolah-olah ia memberi nasihat supaya kita berusaha/bekerja sekuat tenaga seakan-akan semuanya bergantung pada kita dan berdoa seserius mungkin seolah-olah semuanya bergantung kepada Allah. Mohon maaf saya belum menemukan teks aslinya (mungkin juga karena memang pernyataan itu tidak dikatakan oleh Ignasius, melainkan oleh Santo Agustinus atau George W. Bush atau entah siapa lagi), tetapi pernyataan itu tidak memuat tegangan yang disodorkan azas dan dasar. Maksudnya?
Kalau orang bekerja sekuat tenaga seolah-olah hasilnya bergantung pada usahanya, bukankah untuk itu orang tak perlu diberi nasihat? Semua orang, apalagi yang perfeksionis, jika bekerja keras, ia menyimpan suatu keyakinan bahwa hasil kerjanya akan bergantung pada seberapa keras ia bekerja. Semakin ia bekerja sekuat tenaga, seteliti mungkin, setepat mungkin, sehati-hati mungkin, semakin hasilnya baik. Hasil bergantung pada seberapa keras ia berusaha.
Jadi, kebaruan apa yang ditawarkan? Tak ada, itu common sense saja. Maling pun berupaya membuat skenario sebaik-baiknya jika ingin berhasil!
Begitu pula halnya, orang yang datang ke gereja atau tempat ibadat lain bisa begitu khusyuknya berdoa memohon keberhasilan usaha seolah-olah segalanya bergantung pada Allah. Semakin khusyuk orang berdoa, semakin ia kelihatan (seolah-olah) memasrahkan segala-galanya kepada Allah. Bukankah hal ini juga merupakan common sense? Orang yang berdoa khusyuk tampaknya begitu pasrah kepada Allah.
Akan tetapi, mari kita lihat baik-baik, Brow! Pernyataan itu mengasumsikan adanya dua dunia yang ko-eksis, ada bersama, tetapi tak terhubungkan (juxtapose): doa dan kerja. Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk berdoa; ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk menangis. Itu sih sudah diketahui sejak Perjanjian Lama, pun dalam kebijaksanaan dari Timur mengenai keseimbangan unsur-unsur semesta ini. Yang disodorkan orang gila dari Nazaret bukan lagi aneka kebijaksanaan yang sudah jelas dengan sendirinya itu (tentu sejauh orang berefleksi). Ia menawarkan suatu tegangan antara doa dan kerja.
Tawarannya itu diberikan ketika ia mengutus murid-muridnya dengan bekal minimalis tetapi memang itulah yang diperlukan para murid: kuasa atas roh jahat; mereka bisa memakai sandal karena itu memang diperlukan (dan Yesus tidak ribut soal merk sandal, karena ia memang tidak lebay). Mengapa ia menyarankan bekal minimalis? Karena ada yang disebut penyelenggaraan ilahi, Providence; orang beriman mencukupkan diri dengan apa yang dia perlukan untuk menjalankan tugas perutusannya. Di situlah tegangannya. Di satu sisi orang mau sukses menjalankan tugas, tetapi di lain sisi, ia mesti memberi tempat pada penyelenggaraan ilahi.
Dari tegangan itulah kita juga bisa melihat hubungan antara doa dan kerja. Kekhusyukan orang tidak bisa diukur dari lamanya dia berdoa atau tampak heningnya ia berdiam diri di hadapan semesta. Justru kekhusyukannya terbukti pada saat orang mengalami kegagalan ketika ia bekerja sekuat tenaga! Khusyuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penuh penyerahan dan kebulatan hati; sungguh-sungguh; penuh kerendahan hati. Nah, bukankah kerendahan hati dan penyerahan diri itu hanya bisa diukur justru dalam kerja? Loh, kok isa malah dalam kerja, dan bukan dalam doa?
Mari jujur-jujuran saja. Jika kita lihat orang berdoa dengan mencucurkan air mata, sujud, bungkuk, merem berjam-jam, bisakah kita menilainya bahwa doa orang itu khusyuk? Dari mana kita tahu?
Dari air matanya? Horas bah! Dia menangis karena protes Tuhan telah mengambil pacarnya! Mana penyerahannya?
Dari sujudnya? Halah, sejak kecil ia diajari untuk sujud sebagai bentuk penghormatan. Ia mau memberi kesan itu!
Dari merem berjam-jam? Lha wong orang tidur berjalan saja bisa, apalagi tidur dalam posisi doa!
Dengan kata lain, kekhusyukan doa tidak terletak pada bentuk-bentuk ritual tadi, yang sudah diatur seturut kesepakatan orang. Pada ungkapan ritual tadi hanya bisa dikatakan “tampak khusyuk”; jadi, tampaknya saja khusyuk.
Kekhusyukan, penyerahan diri orang baru akan terlihat ketika misalnya ia sudah merancang rencana kerja sebaik-baiknya, melaksanakan kerja sekuat-kuatnya, mencurahkan seluruh kekuatannya dalam pekerjaan itu dan jebulnya terjadi gempa, datang orang sinting, muncul musuh dalam selimut yang menghancurkan seluruh jerih payahnya, dan ia bertafakur: di sini ada bagian penyelenggaraan ilahi. Dalam keadaan itu, orang tetap dipanggil untuk menularkan roh kehidupan, dan bukannya malah protes berontak sepanjang hari-minggu-bulan! Kalau begitu, di mana khusyuknya?!
Maka dari itu, alih-alih mengikuti mainstream, saya merasa ungkapan ini lebih elegan: bekerjalah sedemikian kerasnya seolah-olah semuanya bergantung kepada Allah dan berdoalah sedemikian kuatnya seakan-akan semuanya bergantung padamu. Itulah yang, menurut saya, diajarkan Ignasius Loyola dengan semangat lepas bebas dan magis. Orang mesti berusaha dengan segala daya upaya untuk menemukan passion yang paling tepat baginya, tetapi sekaligus sadar bahwa yang ditemukannya itu ‘hanyalah’ sarana.
Orang seperti ini tentu bekerja sangat keras, tetapi senantiasa eling bahwa sewaktu-waktu Allah bisa bahkan menghancurkan semuanya. Orang seperti ini juga berdoa sangat serius, tetapi dalam doanya ia mendapat keyakinan bahwa kuncinya bergantung pada dirinya, bagaimana ia akan melaksanakan insight dari doanya.
Tuhan, bantulah aku untuk senantiasa menginginkan apa yang memang sungguh kuperlukan, bukannya apa yang menyenangkan. Amin.
HARI MINGGU BIASA XV B/1
12 Juli 2015
Am 7,12-15
Ef 1,3-14
Mrk 6,7-13
Categories: Daily Reflection
1 reply ›