David Elkind, seorang pakar studi anak pada Tufts University, mensinyalir adanya pergeseran paradigma mengenai keluarga: dari paham modern ke posmodern. Kok bisa? Lha karena ternyata kekerasan dalam keluarga inti malah lebih umum: pelecehan anak, pembunuhan oleh orang yang dikenal. Selain itu, menurut studi juga perilaku yang tampak paling patogenik (orang tua omong halus tapi perilakunya kasar, berpihak pada salah satu anggota, menyimpan rahasia, mengambinghitamkan, mengucapkan kata-kata kasar, dan mengecilkan orang lain) sangat umum dalam keluarga ‘normal’ itu.
Akhirnya, gak perlu heran bahwa beberapa studi mengenai keluarga membuyarkan mitos keluarga inti sebagai lembaga ideal relasi manusia (Elkind, 1996). Sudah sejak pertengahan abad lalu ada banyak macam bukti yang melemahkan mitos bahwa keluarga inti adalah struktur ideal relasi kekeluargaan yang sehat. Apa sih gagasan filosofis yang melandasi keluarga inti dalam pandangan modern, yang hendak dihempaskan oleh posmodernisme?
Keluarga Modern
Pertama, tatanan modern menekankan tema kemajuan evolutif. Para ahli ilmu sosial mengakui bahwa keluarga muncul dalam bentuk idealnya (monogami), setelah melalui tahap-tahap yang lebih primitif: sexual promiscuity, group marriage, dan poligami (Elkind). Bentuk ini dicapai melalui sejarah panjang setelah manusia mencoba berbagai macam bentuk relasi seksual. Monogami diterima sebagai bentuk terbaik: dua orang dewasa dengan minimal satu keturunan biologis dari mereka; pasangan menikah sebelum memiliki anak, kewajiban perkawinan dan orang tua dilakukan secara eksklusif oleh pasangan, dan anggota keluarga hanya terikat sah pada satu keluarga inti.
Struktur keluarga itulah yang ideal sebagai pusat segala sesuatu yang baik dan hangat dalam relasi manusia, pusat cinta, solidaritas, harmoni. Bagi pemikiran modern, disfungsi keluarga tidak berasal dari cacat struktur keluarga inti, melainkan dari kegagalan personal anggota-anggota keluarga inti. Bahkan, meskipun Freud menemukan sindrom oedipal conflict dan sibling rivalry, tidak disodorkannya alternatif bagi struktur keluarga inti.
Kedua, tampaknya pengaruh darwinisme menular pada pemahaman diferensiasi peran dalam keluarga. Sebagai kritik atas paham tradisional, modernisme meyakini diferensiasi peran sebagai keniscayaan. Sudah umum diterima bahwa ayah berperan sebagai breadwinner, ibu sebagai homemaker, dan anak-anak atau remaja sebagai pupils atau students (Wallulis, 1998). Ahli-ahli ilmu sosial menganggap peran sosial universal ini sebagai hasil akhir kemajuan evolusioner dari diferensiasi dan spesialisasi.
Ketiga, gagasan modernisme juga menekankan soal keteraturan dan kontrak atau perjanjian orang tua-anak yang dilandasi oleh otoritas orang tua yang gak bisa diganggu gugat (unilateral authority). Orang tua memberi kebebasan kepada anak jika anak bisa menunjukkan tanggung jawab yang dituntut darinya. Misalnya, bayi diperbolehkan makan sendiri jika makanan yang masuk mulutnya lebih banyak daripada yang masuk tempat sampah atau tercecer di lantai. Orang tua memberi dukungan jika anak berprestasi. Betapa orang tua menunjukkan kegembiraan dalam berbagai bentuk ketika anak mampu mengucapkan sepatah kata atau dapat buang air besar sendiri. Orang tua juga menunjukkan komitmen jika anak menunjukkan kesetiaan kepada mereka. Ketika anak jelas-jelas memilih lebih suka orang tua daripada orang asing, kiranya muncul peneguhan komitmen dalam diri orang tua pada anak.
Begitulah. Keluarga dalam kacamata modern begitu terpusat pada ikatan keluarga inti, yang merupakan salah satu bentukan revolusi industri dan munculnya pemerintahan demokratis (Elkind). Pergeseran masyarakat agraris menuju masyarakat industri memaksa masyarakat menjadi eksploitatif dan rumah menjadi tempat yang aman, tempat mengasuh, dan tempat bersantai. Status sosial (Jawa: bibit-bebet-bobot) yang menjadi kriteria tradisional untuk perkawinan, pada gilirannya, tidak menjadi pokok. Model keluarga Siti Nurbaya ditinggalkan.
Orang modern melihat romantic love sebagai unsur konstitutif perkawinan. Di balik itu ada paham bahwa hanya ada satu pribadi di dunia ini yang menjadi jodoh untuk seumur hidup. Maka, dalam hidup seksual pun berlaku prinsip save the best for the last, yang ditakdirkan menjadi jodoh. Premarital intercourse adalah perilaku terkutuk (tetapi ide itu rupanya hanya berlaku untuk kaum hawa yang harus membangun romantic love bagi pasangannya).
Dalam keluarga yang dibangun atas dasar romantic love ini, maternal love (merawat, mengasuh, menyusui, memberi afeksi langsung) mendapat tempat istimewa. Keluarga inti benar-benar menjadi pusat relasi orang tua-anak yang sangat distingtif dalam relasinya dengan masyarakat luas.
Keluarga Permeabel (Posmodern?)
Paham modern seperti itulah yang dikritik posmodernisme. Pertama, alih-alih bersepakat dengan prinsip kemajuan evolutif, posmodernisme mempertimbangkan banyaknya tuntutan akan pengakuan dan legitimasi keberagaman manusia oleh beberapa kelompok: minoritas, kaum gay, dan wanita. Feminisme, misalnya, melawan gagasan modernisme yang menyudutkan wanita di rumah sebagai homemaker.
Struktur keluarga bagi posmodernisme lebih bersifat permeabel karena, meskipun barangkali tetap menerima struktur keluarga inti, membuka peluang bagi banyak pola relasi keluarga: keluarga single-mother/father, keluarga angkat, adopsi, atau sex-like parent families. Demikian berlaku ikatan permeabel: jika Anda dapat memikirkan cara baru untuk menjalin relasi, realisasikan hubungan baru itu (Loughin, 1996)! Ini bukan soal perselingkuhan, melainkan soal strategi aktualisasi membangun relasi antarpribadi yang ada dalam konteks yang bisa berubah-ubah.
Kedua, diversitas pola relasi ini membawa konsekuensi bukan pada diferensiasi peran, melainkan pada emansipasi. Perempuan gak lagi ditempatkan pada lahan pekerjaan dengan bias gender, maka diakui struktur keluarga yang suami-isterinya sama-sama bekerja mencari nafkah. Di sini, asumsi Talcott Parson, bahwa kohesi orang tua-anak berkurang, dipertanyakan (Voydanoff, 1987). Ketiga, konsekuensi diversitas ini menggantikan kontrak perjanjian orang-tua anak dengan jadwal dan daftar kerja. Seluruh relasi orang tua-anak bergantung pada jadwal dan daftar yang sewaktu-waktu bisa saja berubah.
Struktur dan pola relasi keluarga permeabel ini tidak mungkin dibangun hanya atas dasar romantic love. Rasa cinta romantis, dalam kacamata posmodern, tidak cukup untuk sebuah perkawinan. Harus ada konsensus (consensual love) atau perjanjian untuk membangun keluarga. Maka, shared-parenting disodorkan keluarga permeabel posmodern, yang ironisnya juga menghilangkan ciri domesticity keluarga inti. Di sini, dalam kaitan dengan masyarakat luas, keluarga inti hanyalah semacam stasiun atau shelter.
Keluarga dalam kacamata posmodern memang bersifat permeabel. Otoritas orang tua tidak lagi bersifat unilateral melainkan mutual. Dari sini, dapat dipahami bahwa posmodernisme menerima suatu relativisme lunak dan menolak absolutisasi standar. Standar-standar yang dipakai paham modern direlativisasi oleh posmodernisme untuk menemukan bentuk aktualisasi individu yang sesuai dengan konteksnya.
Lalu, pilih modern atau posmodern? Sebelum sampai situ, silakan lihat detail kelanjutannya, klik di sini.
Categories: Daily Reflection
3 replies ›