Keluarga: Hancurnya Modernisme? (2)

Dua paradigma keluarga (modern dan posmodern) gak perlu dihubungkan secara zero-sum (saling meniadakan, mengalahkan), seolah yang muncul terakhir menghilangkan karakteristik paradigma terdahulu. ‘Modernisme dan posmodernisme’ bukanlah konsep waktu, melainkan ketegangan posisi filosofis (Ward, 1998). Selain itu, pada kenyataannya posmodernisme, sekurang-kurangnya secara eksplisit, gak menentang adanya keluarga inti.

Posmodernisme hanya mengkritik keluarga tradisional dengan prinsip kebenaran universal, yang muncul bukan dari beberapa argumentasi rasional atau teks suci, melainkan dari konsensus (Elkind). Agama-agama besar adalah sacred text untuk hidup perkawinan modern. Parameter religius inilah yang diserang posmodernisme untuk membebaskan seksualitas dari keterkungkungan institusional.

Pantas diingat betapa Foucault berupaya melepaskan seksualitas dari cengkeraman ikatan perkawinan tradisional. Ada misi seksualitas yang gak bisa dikungkung dalam tempurung perkawinan. Seksualitas lebih kaya daripada melulu relasi suami-istri dalam keluarga inti. Melalui seksualitas manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang ketubuhan dan identitas dirinya (Nagel, 1995). Tetapi, itu baru terjadi kalau seksualitas gak dikerangkeng dalam perintah dan larangan seperti mengenai soal monogami, relasi heteroseksual, dan sebagainya (bdk. BASIS, no. 3-4, Maret-April 2003, hlm. 43-44).

Ini lebih rumit jika dibandingkan dengan perkawinan tradisional. Pembentukan keluarga tradisional lebih dipahami sebagai fungsi sosial dan politis: demi prokreasi. Sedangkan demi self-cultivation, membangun keluarga bukanlah satu-satunya jalan (Foucault, 1990). Posmodernisme membuka peluang fungsi lain bagi keluarga inti. Sayangnya, logika posmodern Foucault ini barangkali dilepaskan dari konteks keberpihakan Foucault pada praktik moralitas Yunani sehingga orang bisa terjerembab pada aneka penyelewengan (dari sudut pandang modernisme): perselingkuhan, kumpul kebo, dan sebagainya.

Maka, entah Foucault yang gak konsisten atau komunitas penafsirnya yang terlalu relativis, alternatif bagi keluarga inti sering disederhanakan sebagai free sex (asal suka sama suka dan mau sama mau) dan orang mengklaim diri sebagai penganut posmodern (suatu klaim yang tentu saja kontradiktif dalam posmodernisme). Aktualisasi kepedulian diri Foucault diselewengkan pada relasi tanpa batas karena memang tidak ada pusat yang ‘being there’. Pusat itu haruslah berasal dari kesepakatan atau konsensus pihak-pihak yang terlibat.

Meskipun begitu, kalau free sex ini merupakan paham keliru atas ide Foucault tetapi tetap bisa diterima sebagai pemikiran posmo, sebenarnya paham ini justru bisa diakarkan pada gagasan eskatologis agama: dalam hidup akhirat gak ada yang kawin dan dikawinkan. Gak ada status relasi suami istri, bapak anak, kakak adik. Status seperti itu bisa diterjemahkan sebagai relasi universal tanpa batas ruang dan waktu. Maka, seksualitas pun menjadi sarana untuk mewujudkan relasi universal itu.

Tetapi harap diingat, free sex posmodern memuat kesalahan metodologis. Gagasan seksualitas sebagai sarana untuk membangun relasi universal itu dijungkirbalikkan: relasi universal dipakai sebagai dalih untuk relasi seksual yang tanpa batas. Padahal seksualitas selalu ada dalam dimensi ruang dan waktu. Jadi, bahkan dalam era internet yang sangat maju sekalipun, relasi seksual tetap menuntut ketubuhan. Di sini, keluarga modern sebagai penubuhan seksualitas tak tergoyahkan.

Meskipun tak tergoyahkan, keluarga modern tetap rentan terhadap kritik posmodernisme, yaitu bahwa nilai perkawinan ditentukan oleh otoritas eksternal: tradisi. Tidak sedikit keluarga dibangun atas dasar tuntutan tradisi atau status sosial. Orang menikah bukan atas dasar pilihan nilai perkawinan, melainkan karena determinasi psiko-sosio-religius, merasa harus menikah sesuai tuntutan masyarakat atau agama. Dalam kondisi perkawinan memburuk karena kesalahan beruntun, keluarga pontang-panting menanggung beban hidup karena ancaman norma agama.

Dalam kondisi demikian, krisis keluarga sebenarnya adalah krisis multidimensional. Kegagapan keluarga untuk berhadapan dengan gelombang posmodernisme berarti juga kegagapan agama, politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Keterperangahan seorang ibu rumah tangga melihat anaknya terlibat jaringan narkoba bukanlah simtom krisis keluarga belaka. Sikap innocence seorang ayah atas anak laki-lakinya yang berupaya memperkosa anak gadisnya selepas menonton tayangan blue film atau situs porno juga bukan hanya simtom problematika hidup berkeluarga. Model perkawinan para artis dan selebritis yang begitu longgar pun bukan kaca transparan pada problem artis atau selebritis yang bersangkutan. Model itu adalah cerminan masyarakat yang hanya sanggup berlari dari kaca mata modern tetapi kehilangan orientasi. Padahal, bukan asal sudah melawan atau berontak terhadap perintah dan larangan (agama), orang mencapai kebebasan aktualisasi diri. Posmodernisme lebih kompleks daripada mekanisme pelarian diri itu.

Mosaik-mosaik kegagapan keluarga modern terhadap teknologi informasi yang seolah menghadirkan dimensi futuristik barangkali memang mengundang tanya apakah keluarga modern masih sanggup bertahan dalam ketegangannya dengan arus posmodernisme. Pertanyaan itu bahkan dapat sedemikian intensif sehingga, jika diibaratkan sebagai bahtera, keluarga dianggap sedang mengalami topan puyuh dari segala penjuru. Sudah karamkah bahtera itu, mengingat betapa penyakit masyarakat berakar pada sakit keluarga (bdk. Watts, 1998)?

Andaikanlah bahtera itu perlu dipertahankan supaya tak karam, alternatif apa yang bisa dilirik? Silakan klik di sini.

2 replies