Adalah Luce Irigaray, seorang feminis Perancis, psikoanalis dan filsuf, yang berbeda dari feminis lainnya, mempertahankan lembaga modern: agama. Menurut Irigaray, agama gak isa disingkirkan, tetapi harus ditransformasi (Ward, 1998). Pernyataan ini bisa diberlakukan juga bagi keluarga modern karena secara psikologis, agamalah yang berpengaruh kuat dalam tradisi modern sebagai landasan hati nurani. Maka, jika agama harus ditransformasi, keluarga pun tidak luput dari tuntutan transformasi.
Mengacu perumusan David Elkind, transformasi keluarga gak perlu menghasilkan keluarga permeabel posmo. Yang terpenting, keluarga modern terbuka pada tuntutan real posmodern. Jika tidak, keluarga modern akan jatuh pada kontradiksi-kontradiksi antara idealisasi dan realisasi, tergilas dalam pacuan arus posmodern. Kegagapan benar-benar akan mengaramkannya!
Keterbukaan pada kritik posmodernisme mengandaikan daya hidup yang liat dan kreatif. Itu mengapa dapat disebut sebagai keluarga vital. A family is vital to the extent that it energizes and nurtures the abilities and talents of both children and their parents (Elkind). Dalam keluarga vital, relasi keluarga tidak dibangun semata atas dasar romantisme. Perkawinan juga bukan sekadar kontrak perjanjian yang dapat begitu saja dibatalkan karena pelanggaran (Post, 1999). Relasi keluarga vital dibangun oleh ongoing effort to confront and resolve differences, to communicate openly, and to accept and support each partner’s continuing growth and development (Elkind). Barangkali ini dapat disebut sebagai committed love.
Cinta seperti ini menuntut keluarga modern menerapkan baik unilateral authority maupun mutual authority. Ada wilayah primer, fundamental, yang memang menuntut otoritas ketat. Melepaskan diri dari paham modern tentang sifat monolitik kebenaran tidak berarti jatuh pada relativisme moral. Tetap ada prinsip dan nilai universal yang normatif untuk setiap orang (De Santo, 1980). Tetapi, ada juga wilayah relativisme kultural yang menuntut otoritas longgar: berkenaan dengan selera, style, hobi, atau minat.
Menerapkan otoritas tunggal untuk mengatasi konflik di wilayah sekunder (kultural) hanya akan memunculkan pelecehan, kekerasan dan arbitrarisme. Sebaliknya, menerapkan otoritas mutual untuk pembentukan nilai akan membawa krisis identitas keluarga yang berkepanjangan. Maka, diperlukan distingsi terhadap kedua wilayah otoritas ini meskipun saling terkait. Distingsi otoritas seperti ini akan mewujudkan orang tua yang autentik, yaitu menggunakan otoritas secara terukur dalam konteks mencintai, merawat, memberi perhatian, dan menerima relasi-relasi yang membangun.
Dalam konteks ini pula, keluarga vital tidak mengungkung diri pada relasi keluarga inti, tetapi juga terbuka dan mengarah pada pluralitas dalam masyarakat: mengakui komunitas keluarga yang lebih universal. Keluarga vital memiliki sense of community yang mengakui perlunya tujuan, aspirasi, dan tanggung jawab bersama keluarga lain betapapun ada perbedaan etnis, ras, dan sosioekonomis. Keluarga vital tetap memiliki ikatan pada keluarga inti, tetapi terbuka pada komunitas atau institusi yang lebih luas.
Sebagai respon atas kritik posmodern, paham keluarga vital belum membumi untuk sebagian besar keluarga. Sejujurnya, tulisan ini memiliki pengandaian bahwa sebagian besar keluarga di Indonesia masih lekat pada paham modern, dalam arti bahwa agama masih menjadi fundamen yang kokoh untuk keluarga. Maka, transformasi menuju keluarga vital seperti ini tidak mungkin efektif tanpa transformasi agama.
Sayangnya, agama-agama besar biasanya justru memiliki kecenderungan menjadi dogmatis dan dengan demikian dekat dengan kekerasan (Stein, 2002). Keadaan ini terancam oleh posmodernisme yang seolah berkata bahwa jika agama tidak menjadi agama vital, keluarga modern akan beranjak mencari asylum yang mengakomodasi dukungan, afirmasi, intimasi, makna, rasa aman, dan identity-giving ritual. Pada kenyataannya, yang merebak justru New Religious Movements (Wijngaards, 1998) atau barangkali lebih populer dengan new age. Fakta itu mestinya membuat agama-agama besar malu dan terdorong membangun komunitas transformatif yang membuat keluarga sungguh dapat menerimanya sebagai sumber inspirasi (bukan konspirasi!).
Oleh karena itu, agama mesti dengan rendah hati mengakui diri sebagai secuil elemen saja dalam hidup yang multidimensional ini. Agama mestinya mau membenahi diri dengan bantuan disiplin ilmu kehidupan lain, bukannya malah mempertahankan kontradiksi-kontradiksi dalam fundamentalisme agama (Yasmeen, 1989). Tanpa sinergi seperti ini, agama justru hanya akan menjadi batu karang yang mengaramkan bahtera keluarga dan kelak kemudian hari, batu karang itulah yang akan dibombardir sampai musnah.
Mercusuar posmodern sudah memberi peringatan supaya disadari bahwa identitas institusi, termasuk agama, tidak dapat disandarkan pada tradisi belaka, yaitu apa yang sudah dimiliki, tetapi juga pada what it still is to be (Henriksen, 2002). Meminjam istilah Ricoeur, di situlah pentingnya apropriasi terhadap tradisi supaya agama terus memberi pemaknaan baru yang relevan, itulah creative fidelity.
Categories: Personal Notes
3 replies ›