Membangun komitmen hidup berkeluarga sekarang ini tidak semakin mudah. Teknologi semakin canggih, tetapi gak otomatis meningkatkan kualitas perjumpaan dan, dengan begitu, tidak jadi jaminan penyokong komitmen dalam keluarga juga. Sebuah studi mengenai hidup keluarga itu menghasilkan rekomendasi pembangunan suatu keluarga vital, yang menjadi jalan tengah antara tradisi modern dan terpaan posmodern dewasa ini. Idenya, keluarga tak bisa lagi hanya disandarkan pada tradisi yang melulu mendefinisikan identitasnya sebagai ikatan darah.
Salah satu indikasi bahwa kita masih lekat dengan pandangan tradisional tentang keluarga adalah teks Injil yang dibacakan hari ini. Konteks kisahnya menarik. Yesus sudah agak lama meninggalkan desa tempat ia dibesarkan dan di kota-kota di sekitar danau Galilea itu ia berdakwah bilhal dan ternyata pewartaannya itu menimbulkan pertentangan dengan otoritas agama Yahudi. Pada masa itu, jika sampai konflik dengan penguasa agama, bukan penguasa agama yang dikritik, melainkan orang awamlah yang disalahkan. Yesus dianggap tidak waras. Lha, sanak keluarganya tak ingin menanggung malu, maka mereka datang hendak menjemput Yesus. Tapi ketika Yesus diberitahu bahwa sanak keluarganya menunggu di luar hendak menemuinya, ia menjawab,”Siapa ibu dan saudaraku? Ya mereka ini, yang melaksanakan kehendak Allah dalam hidupnya.” Sembari omong begitu, ia menunjuk para muridnya.
Nah, kalau dalam kontemplasi doa kita muncul reaksi spontan terkejut dan menganggap Yesus tak menghargai ikatan keluarga, itu pertanda bahwa kita menganggap ikatan darah jauh lebih superior. Yesus tidak menyangkal ikatan darahnya dengan Maria maupun saudara-saudaranya. Ia menunjukkan tolok ukur yang lebih katolik (yang artinya: universal) sifatnya dan dengan demikian orang diundangnya untuk memperbesar tempurung hidup. Untuk memahami tanggapan Yesus yang terdengar ‘tak sopan’ itu ada baiknya kita lihat lagi situasi hidup keluarga orang Yahudi saat itu.
Sistem politik selama masa Herodes Agung dan anaknya (Herodes Antipas) melemahkan roh komunitas Yahudi. Maklumlah, mereka punya pajak ganda, untuk bait Allah dan penguasa Romawi; mentalitas individualistik bawaan ideologi helenis juga merebak; represi kekerasan oleh penjajah Romawi mengancam setiap saat (misalnya, bisa dibayangkan, staf militer bisa sewenang-wenang meminta jatah kamar hotel saat bertugas mengawal presiden… gratis, gak bayar sepeser pun!). Pokoknya, situasi itu mendesak orang untuk berpikir mengenai keluarganya sendiri. Tanggung jawab sosial bisa jadi cibiran dan semakin banyaklah orang tersingkir: anak yatim, janda, gelandangan, pemungut cukai, pelacur, dll.
Dalam situasi seperti itu, Yesus tidak menginginkan orang semakin tertutup dan hanya membangun identitas eksklusif dengan tolok ukur ikatan darah, tetapi justru memberi makna pada ikatan darah dengan kualitas yang lebih tinggi. Yang membuat kita bersaudara bukanlah hubungan darah, bukan pula kesamaan agama, melainkan hubungan kita masing-masing dengan Allah yang disebutnya Bapa! Sebutan itu jelas tidak untuk mengatakan ada banyak Allah karena tiap orang punya bapak. Sebaliknya, Allah itu satu dan menjadi Bapa bagi semua orang. Ada yang protes: Allah juga Ibu. Ya sumonggo, Allah adalah Bapa/Ibu bagi semua orang. Sebutan itu metafor. Yang terpenting adalah basic attitude setiap orang yang menerima Allah sebagai satu-satunya Allah bagi semua.
Dengan tolok ukur itu, tak perlu orang terperosok dalam konsep keluarga ancur. Setiap orang, bagaimana pun kondisi keluarganya, diundang untuk menangkap Sabda Allah dan mengamalkannya dalam hidup. Dengan begitu, justru terbentuk keluarga baru yang tidak perlu lagi dipersoalkan anggotanya anak dari ibu yang mana dan ayah yang kapan: semuanya sepakat bahwa Allah mahabesar, mengatasi sekat-sekat yang kita bangun sendiri.
Ya Allah, semoga semua orang semakin menerima Engkau sebagai Bapa bagi semua, bukan hanya bagi kelompok agama atau bangsa tertentu. Amin.
HARI SELASA BIASA XVI B/1
21 Juli 2015
Categories: Daily Reflection