Tahukah Anda arti kagol? Tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Memang itu kata bahasa Jawa. Saya tidak tahu arti persisnya, tetapi arti tidak persisnya itu ialah kalau Anda sudah telanjur menggebu-gebu untuk (melakukan) sesuatu dan terjadi disrupsi [halah apaan sih tuh disrupsi?] lalu semua jadi buyar dan Anda berhenti dari rencana (melakukan) sesuatu atau malah melakukan yang menentang sesuatu itu, jadilah Anda kagol. Jadi, apakah kagol itu?
Silakan lihat di sekeliling Anda, banyak sih contohnya, mulai dari cinta kagol sampai agama kagol. Tentu bukan cinta dan agamanya yang kagol, melainkan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Keduanya punya ciri yang sama: memuat kekecewaan bahwa kenyataannya tak cocok dengan yang diidam-idamkannya, yang diidealkannya, yang diimpikannya, yang diinginkannya. Ulah orang kagol bisa macam-macam, dari yang pasif sampai hiperaktif, bisa Anda baca di aneka surat kabar ceritanya.
Gereja Katolik hari ini memestakan sosok murid kagol yang namanya Tomas. Sebetulnya murid kagol itu bukan cuma Tomas. Yang lain-lainnya juga kagol. Hanya saja, seperti sudah saya ketik tadi, ulah orang kagol itu bisa macam-macam. Tomas ngacir dari komunitasnya. Lha yang seperti ini tentu bukan Tomas doang, bukan? Anda bisa bayangkan bahwa seorang ber-KTP Islam gak pernah salat lima waktu, gak puasa, njuk menganggap agama Islam nonsense, njuk pindah agama karena tak menemukan ‘sesuatu’ dalam agama Islam, padahal ya gak pernah datang ke ustaz/ustazah untuk pendalaman iman! Ada juga yang tak suka dengan pastor yang kata-katanya menghunjam atau yang melakukan pelecehan, njuk menganggap agama Katolik munafik lalu pindah agama dan menjelek-jelekkan agama Katolik, padahal pastor Katolik di dunia ini ya bukan cuma sebiji dan bisa jadi yang sebiji itu memang sedang kagol juga! Orang kagol menganggap agama usang.
Barangkali Tomas ini adalah patron untuk orang kagol, dalam hal apa saja. Saya tak hendak menghakiminya sebagai murid yang kepercayaannya tipis dan senantiasa meminta bukti. Tomas ini orang biasa yang reaksi mentalnya juga seperti orang kebanyakan: bisa kagol. Bagusnya ialah dia akhirnya kembali ke komunitas asalnya. Bahwa setelah itu ia pindah komunitas, itu perkara lain. Poinnya, dia tidak mengklaim diri sebagai penguasa, penentu, penilai segala-galanya. Bagusnya yang lain ialah bahwa Tomas ini memberi contoh kepada orang-orang kagol berikutnya bahwa kekagolan itu tak kunjung usai selama orang tidak kontak dengan realitas di depan batang hidungnya.
Contact with reality bukan perkara mudah di zaman teknologi augmented reality ini karena orang didorong untuk sibuk dengan perkara-perkara di luar daripada apa yang senyatanya berkecamuk dalam dirinya. Orang tak sadar lagi akan rasa perasaannya, dari mana kemunculan perasaannya itu, apa yang dipikirkan, dikehendaki, dan mengapa itu semua yang muncul dalam dirinya. Padahal, semakin orang kehilangan kesadaran akan dinamika batinnya, semakin orang sulit menerima diri, lalu semakin sulitlah ia melihat realitas di depan batang hidungnya tadi. Sekali kagol, tetap kagol.
Tomas tidak kagol forever. Ia kembali ke komunitas dan mengelola kekagolannya, menerima bahwa ilusinya menyesatkan, mengakui bahwa Allah itu transenden.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami mampu meletakkan kekecewaan hidup kami dalam sentuhan tangan-Mu. Amin.
PESTA S. TOMAS RASUL
Rabu Biasa XIII C/1
3 Juli 2019
Posting 2018: Martabaknya Bang
Posting 2017: Mengapresiasi Tubuh, Eaaa…
Posting 2015: Makin Suci, Makin Matre’
Posting 2014: Doubter’s Prayer
Categories: Daily Reflection
Kalau sudah kagol itu sulit untuk memulai lagi. Dalam hidup, aku dipenuhi kagol. Dan aku tidak tahu mengapa sering kagol menyebabkan lebih sering lagi untuk kagol. Hati jadi rapuh dan sedih. Rasanya pengen marah-marah saja. Pengen menyalahkan orang lain terus atas penyebab kagol ini. Rasanya jadi seperti menghakimi si A si B si C, tidak konsisten dan penyebab kekagolan. Menjadi semakin ogah untuk berinteraksi dengan mereka.
LikeLiked by 1 person