Pada akun jejaring saya muncul tulisan berjudul “Kembalikan Makna Takbir Yang Hakiki”. Isinya ialah ajakan supaya pembacanya mengembalikan makna takbir ke makna yang hakiki dan dengan demikian tidak jadi simbol kekerasan umat atau jadi guyonan belaka. Ucapakan takbir harus diletakkan secara proporsional supaya orang mengerti makna yang sebenarnya, makna yang sungguh agung.
Salah satu maknanya saya temukan dalam teks-teks bacaan hari ini. Bacaan pertama menarasikan peristiwa iman yang dalam tradisi Islam dirayakan sebagai Idul Adha, bulan depan. Poin takbir terlihat di situ: Abraham mengecilkan dirinya di hadapan Allah yang mahabesar. Kenapa dibilang mengecilkan? Karena dari hitung-hitungan manusiawi, anak terkasihnya, entah Ismael atau Ishak, adalah satu-satunya prospek ke depan. Membiarkan anaknya ini mati berarti juga membiarkan prospek ke depan itu sirna. Apa mau dikata, itulah yang diminta Allah yang mahabesar itu!
Sik sik sik, apakah betul itu yang diminta Allah yang mahabesar? Apakah juga, dari perspektif Kristiani, betul bahwa Allah Bapa itu meminta anak tunggal-Nya mati? Jebulnya gak gitu cerita kompletnya.
Yang diminta dari Abraham adalah ketaatannya kepada Allah yang mahabesar. Begitu juga yang diminta-Nya dari anak tunggal-Nya. Kematian, kegagalan, kemusnahan kemanusiaan, bukan itu yang diinginkan-Nya. Dia ingin anak-anak-Nya taat kepada kebesaran Allah, dan taat kepada kebesaran Allah bisa jadi berkonsekuensi kematian. “Bisa jadi” berarti tak selalu berkonsekuensi kematian. Itulah yang terjadi pada Abraham: tak jadi menyembelih anaknya. Allah mahabesar!
Sayangnya, sebagian umat Islam, menurut tulisan yang saya baca pada layar hape saya, berkontribusi terhadap kesalahpahaman mengenai takbir itu: takbir menjadi sesuatu yang menakutkan atau malah jadi bahan plesetan. Plesetan apa? Plesetan untuk menjadikan kehendaknya sendiri sebagai kehendak Allah. Artinya, takbir yang seharusnya membesarkan nama Allah, malah dipakai untuk membesarkan nama sendiri atau kelompok sendiri (Ad Maiorem Diri Gue). Logikanya, kalau orang mengucap takbir, ia justru merunduk dan merendahkan dirinya di hadapan kebesaran Allah.
Disposisi itu yang tak dimiliki pemuka agama di hadapan Guru dari Nazareth. Ini bukan soal menang-menangan antara Guru dari Nazareth dan para pemuka agama, melainkan soal disposisi di hadapan Allah yang mahabesar tadi. Sang Guru tentu bukannya tak paham analisis kultural. Ia mengerti bagaimana orang-orang di sekelilingnya itu menghubungkan dosa dan penyakit, dan terobosan yang disodorkannya ialah suatu paham Allah yang baru: bukan lagi Allah yang menakutkan belaka, meskipun mahabesar, melainkan Allah yang maharahim lagi penyayang. Itu artinya juga Allah yang mahaampun.
Njuk apa salah saya kalau saya katakan “Dosamu diampuni”? Mengapa perkataan itu mesti dikonotasikan sebagai penistaan Allah? Siapa pula yang punya hak untuk menyatakan bahwa sesuatu itu menista Allah? Paus Fransiskus, yang dalam perspektif Katolik diterima sebagai wakil Kristus di dunia (tentu bukan dalam arti wakil presiden atau DPR/MPR), bahkan tak bisa menyebut ateis sebagai penista Allah.
Lagi-lagi, label dan label. Memang itulah bahaya potensial orang beragama: melekatkan label tanpa pengalaman autentik akan Allah yang mahabesar, mahakasih, mahaampun.
Memang tidak gampanglah bertakbir AMDG. Semoga semua makhluk berbahagia di hadapan kebesaran-Nya. Amin.
HARI KAMIS BIASA XIII C/1
4 Juli 2019
Kamis Biasa XIII B/2 2018: Bangunlah Jiwanya
Kamis Biasa XIII A/1 2017: Dasar Ndeso…*
Kamis Biasa XIII C/2 2016: Minta Jemput Dong
Kamis Biasa XIII B/1 2015: Iman yang Tuntas *
Categories: Daily Reflection