Setiap orang menghidupi dua dunia, sekurang-kurangnya dalam arti psikis: diri ideal dan diri aktual. Kedua dunia ini bisa sinkron, tetapi bisa seakan-akan terpisah. Sedikit orang saja yang bisa membuat sinkron dua dunia itu. Semua orang memang bergerak dalam dua kutub itu tetapi sebagian frustrasi karena tak bisa sungguh tiba di salah satu kutub. Maunya jadi presiden tapi kok ya jebulnya gak bisa. Maunya tak usah kerja susah payah tapi kok ya butuh makan. Maunya jadi orang Barat tapi kok bisanya kebarat-baratan doang, dan seterusnya.
Begitu pula halnya dengan relasi antara manusia dan Tuhannya. Rasa-rasanya ada jurang pemisah yang tak memungkinkan manusia meraih Tuhan selama hidupnya. Itu memang bukan rasa-rasanya saja, melainkan juga dalam disiplin hidup rohani diasumsikan bahwa orang tak mungkin meraih Tuhan (bdk. posting Jangan Mengobjekkan Tuhan) karena sifat transenden-Nya. Kalau disiplin ini dilanggar, yang terjadi adalah perang antara mereka yang diri aktual dan diri idealnya terlalu njomplang.
Teks bacaan hari ini memberi cermin yang baik terhadap orang-orang yang njomplang, yang kagol itu. Jangan khawatir, saya tidak sedang membicarakan Anda yang kagol, karena masing-masing dari kita punya tingkat kekagolan masing-masing. Orang bisa saja kagol abis karena dikhianati, ditipu, difitnah, dituduh, tidak dipercaya, dan seterusnya. Untuk bangun dari kekagolan itu memang tidak mudah. Ha nek gampang wae dunia ini sudah sejak lama jadi surga.
Guru dari Nazareth menantang orang kagol untuk menyadari kekagolannya dan menyelesaikan kekagolan itu dengan sikap compassionnya: yang butuh dokter bukan orang sehat, melainkan orang sakit, dan problemnya ialah bahwa sedikit orang saja yang mengakui dirinya sakit. Ini bukan lagi soal sakit dengan diagnosa teknologi medis, melainkan sakit mental orang yang frustrasi dengan gerak hidup dalam dua dunia tadi. Orang yang frustrasi ini cuma memikirkan satu dunia yang hendak direngkuhnya tetapi apa daya, jurang itu terlalu dalam.
Guru dari Nazareth lebih realistis. Jurang dua dunia itu mesti diurug dengan compassion tadi. Dia hendak mengatasi gap manusia dan Allah dengan mengaktualkan belas kasih-Nya terhadap pendosa. Siapa yang menentang tindakan Guru dari Nazareth ini? Justru manusianya sendiri. Allah menghendaki pertobatan dan pengampunan pendosa, tetapi malah manusianya sendiri tak senang pendosa lain diampuni, diselamatkan, ditebus, dan seterusnya. Orang yang satu bisa jadi spiritual killer orang lainnya ketika ia tak membantunya untuk masuk dalam misteri hati Allah yang compassionate itu.
Tuhan, mohon rahmat pertobatan dan kekuatan supaya kami semakin mampu menghidupi hati-Mu yang pengampun. Amin.
JUMAT BIASA XIII C/1
5 Juli 2019
Kej 23,1-4.19;24,1-8.62-67
Mat 9,9-13
Jumat Biasa XIII B/2 2018: Manusia Sipir
Jumat Biasa XIII A/1 2017: Masukin Ati Aja
Jumat Biasa XIII C/2 2016: Hatimu Kok Keras, Nak?
Categories: Daily Reflection