Perjumpaan dengan Allah, enlightenment, pencerahan, seperti jatuh cinta, mengubah hidup kita. Jangan tanya perubahannya gimana, silakan berkaca pada pengalaman sendiri, kalau punya.😂😂😂 Kalau belum punya, tunggu tanggal mainnya. Kalau sampai langit runtuh gak punya juga, barangkali ada sesuatu yang kurang beres dalam diri Anda, tapi sudah tak ada waktu untuk membereskannya. Maka, sebelum langit runtuh, ada baiknya memetik pelajaran dari teks hari ini juga.
Kitab Suci kerap menampilkan relasi dengan Allah seperti relasi lelaki yang mengambil perempuan tercintanya sebagai istri. Teks bacaan hari ini adalah salah satu contoh metafora yang berkenan dengan mantènan begitu. Suasananya kegembiraan pesta. Relasi dengan Allah yang autentik membuat orang mengalami konsolasi yang sungguh membahagiakan. Ini akan segera dikontraskan dengan narasi bacaan pertama yang menuturkan bagaimana Yakub ‘merebut’ berkat yang menjadi hak anak sulung.
Apakah perjumpaan autentik dengan Allah itu mengizinkan orang berbuat semau-maunya sehingga melanggar hukum?
Saya sodorkan anekdot kuno deh. Seorang murid mengkritik murid lainnya karena berzikir sambil rebahan dan dilaporkannyalah murid lain itu kepada gurunya. “Guru, bolehkah kita berzikir sambil tiduran?” Sang guru menggelengkan kepala dan murid itu dengan penuh kemenangan memberitahu temannya,”Nah, apa kataku. Guru tidak memperbolehkan kamu berzikir sambil tiduran!”
Temannya protes dan datang kepada gurunya,”Guru, kalau sewaktu saya rebahan, bolehkah mengisinya dengan berzikir?”
“Baik sekali niatanmu itu, Nak. Tentu saja boleh.”
Dalam perspektif orang yang memandang Allah sebagai hakim penjaga tatanan moral, Allah menjadi sosok misterius yang sewenang-wenang mengatur umat-Nya harus memakai pakaian A atau menjauhi makanan B dan melarang gerombolan C berada di wilayah D. Ini benar-benar Allah yang gak punya kerjaan dan mungkin saja tak pernah jatuh cinta pada manusia. Dalam perspektif ini, kisah Yakub memperoleh berkat dari ayahnya adalah narasi anak durhaka yang merebut hak anak sulung karena hak anak sulung itu sudah diidentikkan dengan titah Allah sendiri.
Juga kalau Allah bersabda melalui para nabi dan nabi itu membuat peraturan, peraturan itu tetaplah terikat ruang dan waktu, bikinan manusia juga. Aturan Allah semestinya, dalam bahasa moral, hanyalah thin morality, sebagaimana Pancasila itu. Moralitas tipis bukan dalam arti bahwa tak ada kadar moralnya. Justru sebaliknya, itu adalah moralitas yang tinggi. Kemanusiaan dan keadilan, misalnya, jelas adalah nilai hakiki. Hanya saja, dua kata itu bisa multitafsir dan aneka tafsirannya jadi thick morality. Apa yang membuat thick? Ya perjumpaan dengan Allah tadi.
Kalau orang memang sungguh-sungguh mengalami perjumpaan dengan Allah, dia tak akan melanggar thin morality, tetapi justru memberi isi konkret terhadapnya. Artinya, kalau memang Allah mengatakan A atau B, dia sendiri dengan seluruh daya rasa, nalar, dan kehendak perlu menemukan penjelasan kontekstual mengapa Allah mengatakan A atau B; bukan asal telan mentah-mentah. Karena kultur telan mentah-mentah inilah pemuka agama bisa bergaya membuat peraturan yang menguntungkan kelompok tertentu.
Maka, kembali ke anekdot tadi, murid yang rebahan sambil rosario tadi, sejauh memang dia rebahan dan berniat berdoa rosario dan bukannya modus, lebih merepresentasikan orang yang punya pengalaman cinta dengan Allah daripada murid yang fokusnya pada tata cara berdoa rosario. Disposisi macam ini yang sebetulnya diharapkan dari orang beragama, tetapi ya itu tadi, berapa persen sih dari orang beragama yang begitu? Lebih banyak yang disposisinya adalah rebutan balung alias berebut tulang.
Tuhan, tambahkanlah cinta kami kepada-Mu. Amin.
SABTU BIASA XIII C/1
6 Juli 2019
Sabtu Biasa XIII B/2 2018: Nasib Pembantu
Sabtu Biasa XIII A/1 2017: Pansus Koruptor
Sabtu Biasa XIII C/2 2016: Puasa Pesta atau Pesta Puasa?
Sabtu Biasa XIII B/1 2015: Ngapain Puasa Segala?
Categories: Daily Reflection