Pernahkah Anda melihat orang mengucapkan asalamualaikum dengan wajah cemberut bin kusut? Kalau nanti menjumpai orang seperti itu, dan Anda punya keberanian, usulkanlah kepadanya supaya berkonsultasi dengan ustaz atau ustazahnya. Kalau tidak, tunjukkan saja Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di sana dituliskan arti kata asalamualaikum: keselamatan (kesejahteraan, kedamaian) untukmu (biasanya diucapkan pada awal dan akhir pidato, saat bertemu dengan seseorang, dan sebagainya). Ha kenapa jé Rom pakè mencampuri urusan orang segala? Suka-suka orang toh mau omong asalamualaikum sambil senyum atau mecucu?
Iya juga sih, ngapain juga saya mesti nulis-nulis beginian. Mungkin karena saya takut ketemu orang yang bilang asalamualaikum sambil menunjukkan muka sangar ya.😂😂😂
Ya intinya sih sama seperti posting Takbir AMDG kemarin: bisa disalahgunakan oleh orang yang tak mengerti makna hqq dan cuma hobi rebutan kursi. Kalau orang tahu arti asalamualaikum, kiranya dia tak akan mengucapkannya dalam situasi tak damai. Situasi tak damai itu tidak selalu berarti sikap bermusuhan, tetapi bisa juga sikap merendahkan orang lain.
Loh, kalau memang orang lain nyatanya lebih rendah gimana Rom?
Haiya itu kan cuma hasil ujiannya, rumahnya, tinggi badannya, mobilnya, gubernurnya #halah.
Teks bacaan hari ini mengisahkan pengutusan tujuh puluh murid ke kota-kota yang kiranya akan dikunjungi Guru dari Nazareth. Baik diingat bahwa kota-kota itu dianggap sebagai tempat subur, wong tuaiannya banyak. Guru dari Nazareth tidak memosisikan tempat-tempat yang akan dikunjunginya sebagai tempat tandus dan orang-orangnya kafir. Artinya, dia tidak meminta para muridnya menganggap tempat dan orang-orangnya sebagai tempat kekafiran yang tak punya nilai penting selain dari perspektif ekonomis. Dalam pesan itu sudah diandaikan bahwa sudah ada kekayaan atau kelimpahan yang pantas dituai dari kedalaman hati setiap orang yang mencari kedamaian dan keadilan.
Semua orang yang mau jadi murid Guru dari Nazareth itu diutus untuk jadi penuai kelimpahan dan catatan pertama adalah itu tadi: bahwa dalam memberikan kesaksian, ia tidak menyertakan sikap arogan bahwa dialah pembawa kelimpahan, kebenaran, kesucian, dan seterusnya. Utusan ini tidak berasumsi bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya sebagai yang diutus sedangkan orang lain disubordinasi, ditundukkan, dikalahkan. Wong jelas tugasnya menuai kok, lha berarti malah dari merekalah dia mesti menuai kelimpahan, menuai kebenaran, dan seterusnya. Begitu mengasumsikan dirinya sebagai sang pembawa kebenaran, ia kehilangan identitas sebagai utusan.
Guru dari Nazareth juga mengumpamakan murid-muridnya sebagai domba yang diutus ke tengah-tengah serigala, yang tidak sedang menunggu kesaksian, yang hidupnya ya penuh rebutan ini itu. Utusan datang dengan kerendahhatian, tetapi juga dengan damai, bukan dengan kekerasan pemaksaan. Modal yang disodorkan oleh Guru ini adalah harapan bahwa ‘asalamualaikum’ tadi membangun kebaikan dalam masyarakat. Sayangnya, konon akibat cara pikir Barat, harapan ‘asalamualaikum’ ini di Indonesia dilekatkan pada agama tertentu, seakan-akan agama yang tidak tentu itu tak punya harapan ‘asalamualaikum’.
Ya Allah, mohon rahmat kerendahhatian supaya damai-Mu sungguh dapat diwartakan sampai ke ujung bumi. Amin.
HARI MINGGU BIASA XIV C/1
7 Juli 2019
Yes 66,10-14c
Gal 6,14-18
Luk 10,1-12.17-20
Posting 2016: Gampangan Selfie atau Wefie
Categories: Daily Reflection