Gampangan Selfie atau Wefie?

Teks Kitab Suci Kristen itu memuat banyak tulisan yang kebenarannya bisa langsung dibantah, atau sekurang-kurangnya meragukan. Salah satunya dalam perikop yang dibacakan hari ini. Pembaca bisa mempertanyakan, ini yang bener berapa murid lain yang diutus: tujuh puluh atau tujuh puluh dua? Saya sih tak ambil pusing, gak ada relevansinya untuk hidup saya apakah yang diutus itu tujuh puluh atau tujuh puluh dua. Sama temen, kasih bonus dua deh gak apa. Terjemahan Injil Lukas yang dipakai di Indonesia tampaknya meletakkan angka tujuh puluh dan saya gak punya problem karena yang menarik saya adalah substansi yang hendak disimbolkannya.

Angka simbolik itu mau mengatakan bahwa misi yang diberikan Yesus itu targetnya mesti sampai pada seluruh bangsa manusia (bdk. Kitab Kejadian 10), di manapun murid Yesus itu berada, pada saat ia sehat atau sakit, untung atau malang, kaya atau miskin, dan seterusnya. Oh, ini Kristenisasi ya? Iya dalam arti proses realisasi Sabda Allah (yang perlu ditafsirkan bersama, dalam dialog antarsubjek), tetapi bukan dalam arti membuat orang lain jadi beragama Kristen! Maaf, ini berkali-kali perlu ditegaskan bahwa concern penulis blog ini tak terletak pada agama, melainkan pada relasi pribadi setiap orang dengan Allah yang diimaninya, dilibatinya dalam hidup autentik yang terbuka.

Kalau begitu, kiranya gak perlu secara naif kita bayangkan waktu itu benar-benar ada tujuh puluh (dua) murid disuruh pergi. Siapa saja yang mau jadi muridnya, ia mesti siap diutus. Introduksi pengutusannya berbunyi,”Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” Kata ‘mintalah’ senantiasa ada dalam lingkup ‘berdoalah’ jika ditujukan kepada Tuhan. Dengan kata lain, Yesus mengandaikan para muridnya berdoa supaya juga dirinya sendiri jadi instrumen yang diutus untuk menjalankan misi itu.

Kata ahli tetangga sebelah, nuansa kata ἐκβάλῃ (bacanya ékbalé ya, diterjemahkan dengan kata mengirimkan) lebih klop dimengerti dengan gambaran orang yang sedang enak nyaman bersantai ‘ditendang’ keluar, disuruh keluar untuk mengerjakan sesuatu. Ini lebih nendang daripada cuma diterjemahkan sebagai ‘mengirimkan’ pekerja. Berarti, mereka yang mau jadi murid Yesus ini, apapun agamanya (halah… lama-lama bosen juga gw Mo), tak bisa bermalas-malasan dengan aneka macam rasionalisasi demi berlama-lama dengan kenyamanan diri. Ia mesti bergerak, angkat pantat, kata profesor saya, untuk menyiapkan tempat bagi persemaian Sabda Allah.

Diutus berdua-dua? Jelas: murid Yesus tak menjalankan tugasnya sebagai agen pribadi yang sangat rentan pada narcisisme. Tugas yang diemban itu menuntun orang untuk melakukannya dalam kebersamaan, dalam komunitas. Ini bukan soal mau show off bahwa saya sebagai pribadi punya kemampuan ini itu, kharisma ini itu, kehebatan ini itu yang tidak dimiliki orang lain. Ini soal bagaimana orang terlibat secara komuniter untuk mewartakan Sabda Allah, bukan malah hobi mengkritik komunitasnya sendiri, menjelekkan bangsa manusia sendiri, seolah-olah dirinya sendiri bersih dari segala kelemahan yang ditunjukkannya pada orang-orang lain.

Tuhan, mohon rahmat supaya semangat kami tak luntur untuk membangun proses bersama dalam merealisasikan Sabda-Mu di tengah masyarakat kami yang tunggang langgang sendiri-sendiri ini. Amin.


HARI MINGGU BIASA XIV C/2
3 Juli 2016

Yes 66,10-14c
Gal 6,14-18
Luk 10,1-12.17-20

Posting Hari Minggu Biasa XIV B/1 Tahun 2015: No Faith, No Miracle