Kemarin ditunjukkan salah satu poin bahwa kemuridan tak dapat dihayati dalam privatisasi rahmat. Tugas pewartaan Sabda Allah tak bisa direduksi sebagai pemuliaan diri sendiri, pendongkrak popularitas diri, apalagi alat pemerkaya diri. Misi itu diemban dalam kebersamaan, dalam komunitas umat beriman. Konteks komuniter ini bukannya tak rawan problem sosial (juga politik). Bandingkan saja misalnya mereka yang hobi menerobos aturan lalu lintas. Ini bukan cuma bisa jadi santapan lezat polisi yang korup, melainkan juga menjengkelkan pengendara yang taat lalu lintas. Ada saja tindakan anggota komunitas yang dengan sendirinya menunjukkan ketidaksetiaannya pada visi misi bersama komunitas, dan ini bisa memperlemah kohesi komunitas.
Dalam bacaan Injil hari ini disodorkan dua kondisi yang menajiskan orang dalam ikatan komuniternya sebagai orang Yahudi: sentuhan dengan mayat dan orang sakit pendarahan. Darah dan kematian jadi produsen kenajisan. Orang dieksklusikan dari komunitas, tak bisa berpartisipasi sebagai anggota komunitas. Dalam komunitas para fundamentalis atau teroris, orang yang dieksklusikan ini bisa sungguh-sungguh kehilangan nyawanya karena ditembak mati, hiiii…. mengerikan. Tetapi, sebetulnya dalam komunitas yang bukan fundamentalis pun hukumannya tetap mengerikan: orang tak bisa berpartisipasi dalam komunitas sehingga tak bisa membangun relasi dengan Allah.
Supaya orang bisa kembali aktif berpartisipasi atau diterima dalam gerak komunitas secara penuh, diperlukan ritual pembersihan, pemurnian, atau bagaimanapun mau diberi nama. Dalam masyarakat Yahudi (saat itu) ini sudah ada aturannya. Lha, runyamnya, Yesus ini membuka suatu kemungkinan yang berbeda dengan menyembuhkan perempuan yang sudah sakit pendarahan sejak 12 tahun lalu. Yesus membuka jalan baru menuju Allah yang tak bergantung pada ritual pemurnian agama yang dikontrol oleh para imam (bdk. misalnya Kitab Imamat 13). Dengan ‘membangunkan’ anak perempuan kepala rumah ibadat, Yesus mengalahkan kekuatan kematian dan membuka pintu cakrawala baru kehidupan.
Meskipun demikian, orang tak perlu mengambil kesimpulan terlalu jauh: (ritual pemurnian) agama gada relevansinya, gada gunanya ibadat bersama, dan seterusnya. Ini kesimpulan yang nonsense bahkan meskipun mendasarkan premisnya pada apa yang dibuat Yesus. Penyembuhan tak hanya terjadi pada masa Yesus, juga tidak hanya terjadi dalam konteks agama Yahudi. Semua agama punya kisah masing-masing mengenai penyembuhan karena iman kepada Allah. Yesus sendiri di kesempatan lain meminta orang yang disembuhkannya supaya melaporkan diri kepada imam untuk mendapat status tidak najis lagi.
Aneka mukjizat dan penyembuhan yang dilakukan Yesus ada dalam konteks memantik dan mengembangkan iman umat, relasi pribadi dengan Allah. Orientasi ini bisa kacau jika orang berfokus pertama-tama pada yang nonsubstansial, entah agamanya, entah bentuk ritualnya. Lah, kalau orang gak berpijak pada agama, ntar dia bisa sembarangan dong bikin ritual sendiri pakai kemenyan dan anak perawan, misalnya? Gak usah repot-repot. Agama dan perangkat ritualnya mesti dikaji secara jujur: apakah itu membangun relasi pribadi dengan Allah (dan itu berarti terbuka pada aneka kemungkinan) atau malah semakin membuat orang ideologis (tertutup, merasa diri paling sempurna, tak mau terima kritik).
Tambahkanlah iman kami, ya Allah, supaya dengannya juga kami dapat menambah kualitas kemanusiaan. Amin.
HARI SENIN BIASA XIV
4 Juli 2016
Hos 2,13.14b-15.18-19
Mat 9,18-26
Posting Senin Biasa XIV B/1 Tahun 2015: Agama Kok Eksklusif
Categories: Daily Reflection