Putus asa itu ada gunanya gak seh? Itu sering dikaitkan dengan aneka berita jelek yang menunjukkan dampak keputusasaan orang: mulai dari tindakan brutal sampai tahap suicidal. Putus asa dimasukkan dalam kotak negatif hidup manusia. Yang menyorongkannya ke kotak negatif barangkali malah agama. Tak mengherankan, dulu kalau ada orang yang bunuh diri, agama tak menyediakan prosedur untuk sekadar menguburkannya sebagai manusia biasa karena menilai bahwa orang bunuh diri berarti mengungguli kekuasaan Allah sendiri atas hidupnya.
Kiranya setiap orang pernah dalam hidupnya mengalami keputusasaan seturut kadarnya. Saya tak tahu apakah ada penelitian mengenai berapa orang yang putus asa mengakhiri feeling suicidalnya dengan tindakan bunuh diri dan berapa banyak yang berhasil. Akan tetapi, saya menawarkan suatu keputusasaan sebagai metode. Apa manèh ta iki, Maaaa? Mosok putus asa, yang sudah melawan keutamaan harapan iman, malah dijadikan metode!😂😂😂
Tidak usah susah-susah mengertinya. Kalau Anda putus asa, itu artinya kan Anda merasa no way out terhadap situasi aktual. Anda sudah berusaha memeras otak sampai tak ada lagi isi yang bisa dikeluarkan dari situ dan tak ada jalan keluar. Artinya, Anda tidak punya alternatif pemikiran dan yang tinggal ialah perasaan no way out tadi. Tak perlulah saya bahas bahwa perasaan itu comes and goes. Anak kecil bahkan bisa jadi habis nangis ketawa cekakakan. Artinya, perasaan itu sangat temporal sifatnya, sementara, bisa berubah-ubah.
Tidak perlu buru-buru masuk ke logika agama. Kalau orang mengaktualkan feeling suicidalnya dan sukses, itu seperti orang merasa punggungnya gatal dan minta operator eskavator untuk menggaruk punggugnya. Halah, lebay Rom! Justru itu poinnya: mosok mengatasi hal kecil saja mesti memakai kartu truf? Mosok sih mengatasi mood yang bisa berubah-ubah mesti memakai cara permanen merenggut hidup? Konon kata Gus Dur, untuk membersihkan tembok kotor, Anda tak perlu menghancurkan tembok itu.
Putus asa sebagai metode saya petik dari narasi bacaan hari ini. Perempuan yang najis senajis-najisnya itu putus asa terhadap situasi di sekelilingnya. Struktur sosial tak berpihak padanya. Hidupnya sudah seperti anak perempuan kepala rumah ibadat: tak ada nyawanya. Dalam keadaan itu, dalam keadaan putus asa itu, ia tak bisa keukeuh dengan kepercayaan pada struktur sosialnya. Ia mesti bergerak ke level kesadaran yang berbeda: meminta Dia yang jadi Tuan atas kehidupan ini.
Juga Yakub dalam bacaan pertama rupanya menemukan situs tempat para malaikat naik turun tangga dalam mimpinya. Bukan mimpinya yang penting, melainkan kesadarannya yang bergerak ke level berbeda: sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, tetapi aku tidak mengetahuinya. Ya memang begitulah. Orang beriman ‘hanya’ perlu waktu untuk sadar bahwa Tuan atas kehidupan ini sedang merenda hidup setiap orang. Lha, kalau orangnya cuma memikirkan dirinya sendiri, rasa perasaan yang sifatnya sementara tadi sewaktu-waktu bisa menghabisinya.
Maka, sebaiknya perasaannya diproses supaya jadi pengetahuan bahwa Tuhan bisa hadir lewat apa saja dalam hidupnya.
Ya Allah, mohon kejernihan hati dan budi untuk senantiasa berharap kepada-Mu lebih daripada yang lain-lainnya. Amin.
SENIN BIASA XIV C/1
8 Juli 2019
Senin Biasa XIV B/2 2018: Komitmen Hari Gini?
Senin Biasa XIV A/1 2017: Ayo Tidur (Lagi)
Senin Biasa XIV C/2 2016: Iman Penjamin Mutu?
Senin Biasa XIV B/1 2015: Agama Kok Eksklusif
Categories: Daily Reflection
Ya lah Fr. Andre, there’s nothing permanent except changes itself. Rasa suka duka itu memang naik turun, putus asa atau gak semua harus dijalani sampai titik darah penghabisan. Anak Tuhan idealnya memang mencari konsolasi lewat kontemplasi dan doa, interaksi dg Tuhan lewat pelayanan bagi sesama (asal bukan pelarian). Tiap kita punya cara pelepasan yg berbeda2 juga: nangis, sedih, mikir, OR sampai mau copot kakinya, lewat lagu2 mellow dll atau kadang lewat curcol (not recommended banget sih hee masalah aja kok mau go public gitu, gak banget!). Memproses perasaan bhw Tuhan hadir dlm setiap langkah kita termasuk lewat hal2 yg gak enaknya jg udah dilakukan dan rasa gundah itu bagian dr outputnya menurutku sih, temporal lah beneran seperti kata Rm. Well…life process, semua harus dijalani. Tp thank u Rm, tulisannya bagus & pas dg kondisi🙏
LikeLike
Tengkyu Bu, semangaaaat.
LikeLike
Siap Mo!!😊 Kalau lagi sempat boleh gak share link bacaan referral yg terkait topik bahasan kita ini, dr koleksi tulisan2 Rm yg lalu? Matur nuwun sebelumnya🙏
LikeLike
Wah sayang, Bu’. Dulu maunya bikin indeks tematis, tapi setelah sekian ribu posting, tak punya waktu lagi utk mengelompokkan tulisan2 itu. Tapi Ibu masih bisa search dengan mengetikkan kata kunci kok di mesin pencari. Biasanya tiap posting saya beri sekitar sepuluh kata kunci. Gutnait.
LikeLike
Sayang sekali ya Rm, gak keburu di index accordingly, padahal akan sangat berguna. Ok lah, sy akan coba search dg memakai keywords. Btw, I know it sounds persistent since u’ve mentioned before that u won’t have time to maintain two blogs at once, but I find your writing style at your English blog is more at ease & relax, yet could still communicate its philosophical & contemplative message, giving readers’ minds proper platform to wander freely. Maybe one day u would have time to write in that blog again and publish. Semoga deh. Selamat beristirahat jg Rm, blessings🙏
LikeLike