Kemarin saya sodorkan putus asa sebagai metode: momen lepas bebas terhadap aneka kesementaraan karena keterpautan terhadap keabadian, momen ketika orang menyadari bahwa Allah bukan penutup lobang, sebagai harapan terakhir setelah segala harapan kepada kesementaraan itu luput, melainkan satu-satunya yang pantas jadi tumpuan harapan.
Loh, bukannya memang setiap orang mesti berusaha keras dulu, Rom?
Ya betul, tetapi gak pake’ keterangan ‘dulu’. Ini bukan usaha keras yang terpisah dari berkat dan hidayah Allah, malahan semestinya usaha keras karena berkat dan hidayah itu.
Ini bukan metode gampang karena manusia punya tendensi untuk bergulat dengan misteri keilahian karena setiap manusia adalah adonan antara yang ilahi dan insani. Komposisi adonannya bergantung pada bagaimana pergulatan berlangsung. Mari lihat teks bacaan pertama yang mengisahkan perkelahian antara Yakub dan malaikat.
Jika kemarin dikisahkan Yakub bermimpi dan keesokan harinya menyadari bahwa tempatnya berpijak itu adalah medan kehadiran Allah, teks hari ini tidak menunjuk keadaan bermimpi. Dia sudah bangun di malam hari dan bahkan menuntaskan tugasnya untuk menyeberangkan segala kepemilikannya ke sisi lain dari sungai Yabok. Pada saat inilah putus asa sebagai metode tadi dijelaskan: Yakub, di kegelapan malam, sendirian, terpisah dari kesementaraan hidupnya yang sudah diseberangkannya. Muncullah seorang malaikat yang semalam-malaman bergulat dengan Yakub.
Saya tak tahu berapa besar stamina Yakub untuk bergulat. Dua belas ronde tinju saja sudah membuat petinjunya lêmpé-lêmpé, lha ini bergulat semalam-malaman. Lawannya cowok, malaikat pula!
Tradisi memahami teks itu sebagai pergumulan batin manusia saat berhadapan face to face dengan misteri ilahi. Ini bukan lagi pergumulan reflektif seperti saya menuliskan catatan harian ini, melainkan pergumulan nyata. Tak mengherankan, kontemplasi itu indah diomongkan, tetapi susah dihidupi. Menyerahkan hidup dalam penyelenggaraan ilahi juga gampang dituliskan, tetapi berat banget menghayatinya. Itu seperti life is beautiful yang menuai sukses dalam film, tetapi pada kenyataannya orang bisa menerimanya sebagai life is awful.
Itu bisa terjadi bukan hanya dalam kegagalan, melainkan juga dalam kesuksesan. Kalau yang gagal menganggap hidupnya tanpa berkat, yang sukses menganggap diri tak perlu berkat. Keduanya sama-sama takluk di hadapan misteri ilahi dalam arti putus asa, bukan lagi sebagai metode, melainkan sikap dasar negatif terhadap Yang Transenden itu. Begitulah dicontohkan orang Farisi dalam bacaan kedua. Alih-alih mengadopsi compassionate heart yang menggerakkan orang untuk jadi berkat, mereka mengutuki apa saja yang tidak sejalan dengan mereka.
Yakub lebih sesuai dengan iman yang autentik. Meskipun menang dalam pergumulan gelap batinnya, ia toh tetap pincang di hadapan misteri ilahi itu. Orang beriman memandang turbulensi hidupnya, tanpa cari-cari penyakit turbulensi, sebagai jalan pemurnian imannya; maka, menderitalah orang kalau berfokus pada turbulensi (protes tak kunjung henti sampai susah menerima diri karena sibuk menyalahkan liyan), bukan pada iman yang terus menerus perlu penempaan dalam kekonkretan hidupnya. Yakub tak mempersoalkan kalah menangnya, ia minta berkat dari Sang Misteri Ilahi. Ini bukan semata soal dahinya dijempoli atau ditumpangi tangan, melainkan soal menyelaraskan hidup dengan compassionate heart tadi.
Tuhan, mohon berkat untuk mengadopsi hati-Mu. Amin.
SELASA BIASA XIV C/1
9 Juli 2019
Selasa Biasa XIV B/2 2018: Korban Ritualisme
Selasa Biasa XIV A/1 2017: Berani Berdoa Sungguhan?*
Selasa Biasa XIV C/2 2016: Tendang Aja
Selasa Biasa XIV B/1 2015: Bencana dan Efek Jera?*
Selasa Biasa XIV A/2 2014: Bela Rasa vs Tindakan
Categories: Daily Reflection