Kerajaan Allah

Pemisahan area yang berhubungan dengan kelamin, misalnya toilet, bisa diterima dengan kewarasan. Jadi agak aneh kalau yang tak berkelamin pun, misalnya tangga, motor, dan mobil, ikut-ikut dipisahkan atas dasar kelamin. Lalu saya teringat apa yang disodorkan Pak Yudi Latif mengenai pola substantif dalam memahami doktrin agama, yang menekankan tujuan Syariat (Maqashid al Syar’i?) daripada formalisasi produk hukum Islam di Abad Pertengahan dulu.

Kenapa saya teringat itu? Karena kejadian belakangan ini tak cocok dengan ide pola substantif itu tadi: melarang dua motor beda kelamin untuk parkir bersebelahan. Apakah pelarangnya ini takut terjadi premarital sexual intercourse antara Yamaha dan Honda ya? Pasti tidak, kan? Saya tidak parno soal syariat, dan justru karena itu saya bertanya-tanya mengapa kelamin jadi alasan keamanan. Apakah ketidakamanan itu berkelamin juga?

Teks bacaan hari ini mengindikasikan suatu preferensi terhadap bangsa Israel (bukan bangsa Israel zaman now). Yang pertama mengisahkan awal perjumpaan Yusuf dengan saudara-saudaranya yang dulu membuangnya sampai ia terdampar di Mesir. Ternyata pembuangan itu malah mengantisipasi keselamatan bangsa Israel sendiri dari bencana besar. Yang kedua menunjukkan tugas para murid untuk mencari domba yang hilang di antara bangsa Israel sendiri.

Preferensi terhadap domba yang hilang di antara bangsa Israel itu tidak mengeksklusi bangsa lain, tetapi menegaskan adanya persoalan substansial yang tak terpecahkan jika orang tak menyadari bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Nah, ini frase yang tidak mudah dimengerti dan karenanya mudah disalahpahami. Pada zaman Guru dari Nazareth belum dikenal aneka bentuk pemerintahan selain teokrasi atau kerajaan atau kekaisaran. Untuk mengatakan suatu pemerintahan yang lain dari itu, Guru dari Nazareth memakai frase Kerajaan Allah.

Memang Kerajaan Allah berarti Allah yang jadi raja, tetapi Allah yang meraja itu lagi-lagi bukan teokrasi, karena maksudnya jelas merajanya Allah itu ‘cuma’ ada dalam hati mereka yang mengimani-Nya. Dari hati yang dirajai Allah itu barulah keluar prinsip etis yang juga mesti terbuka pada hati liyan (yang juga bisa dirajai Allah). Nah, dari prinsip itu perlu dibicarakan praktik konkretnya demi kemaslahatan bersama.
Ini saya tidak sedang bicara soal hubungan antaragama karena dalam hubungan intraagama hal seperti itu juga bisa luput dari kesadaran orang. Yang satu mengklaim pemikirannya lebih sesuai dengan kehendak Allah semata karena sudah cocok dengan aturan, tetapi lupa bahwa aturan itu adalah konstruksi manusia sendiri, yang belum tentu menjamin kebaikan atau kecocokan dengan konteksnya.

Wah, kacau Romo ini, mosok menganggap aturan agama sebagai konstruksi manusia. Bukankah itu petunjuk atau perintah Allah sendiri?
Lha justru itu persoalannya. Petunjuk Allah itu diletakkannya pada hati manusia, perkara dari hati munculnya apa dan bagaimana, perlu dibicarkan dengan pihak-pihak terkait. Kalau tidak, Kerajaan Allah itu hanya akan jadi korup karena kerajaan-Nya yang mahaluas itu direduksi kekuasaan yang wawasannya dibatasi oleh ranah ritual, liturgi, hukum, yang emoh bersinggungan dengan kedalaman hati manusia yang beragam.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat membuka diri untuk kebaikan bersama umat-Mu. Amin.


RABU BIASA XIV C/1
10 Juli 2019

Kej 41,55-57;42,5-7a.17-24a
Mat 10,1-7

Rabu Biasa XIV B/2 2018: Bebas Bersyarat? 
Rabu Biasa XIV A/1 2017: Heavenly Idol
Rabu Biasa XIV C/2 2016: Mulai dari Fitrah

Rabu Biasa XIV B/1 2015: Hari Gini Kristenisasi? *
Rabu Biasa XIV A/2 2014: Dua Jenis Golput