Kalau Anda lupa kisah seseorang yang hendak belajar mencari Tuhan dan cuma diajak pergi ke kali, silakan baca posting berjudul “Ciyus?“. Kalau Anda masih ingat, syukur, Anda bisa melanjutkan refleksi mengenai relevansi agama bagi manusia, misalnya dengan mempertimbangkan bacaan-bacaan hari ini. Bacaan kedua menuturkan soal bagaimana guru dari Nazareth memilih para rasulnya dan bacaan pertama menyampaikan refleksi Hosea terhadap bangsa Israel yang (kemarin-kemarin dibahasakan sebagai orang-orang yang menyelingkuhi Allah) hari ini diumpamakan sebagai pohon anggur, yang makin berbuah malah makin banyak mezbah, yang makin baik tanahnya malah makin keren pula tugu berhalanya. Maksudnya?
Barangkali bisa diterima bahwa semakin orang sejahtera, bisa jadi malah semakin susah memperhitungkan Allah dalam hidupnya. Itu mengapa kaum religius menentang sekularisme, yang hendak menyangkal ranah ilahi-transenden dalam hidup sekular. Sharing teman saya pernah saya kutip pada blog ini. Sewaktu dia dalam tahap pendidikan, setiap kali hendak berangkat kuliah dengan vespa bututnya, ia selalu berdoa dalam hatinya mohon perlindungan Tuhan dan kelancaran perjalanan dan vespanya tak kerap mogok di jalan. Setelah beberapa tahun kemudian mendapat fasilitas tunggangan yang mesinnya lebih ciamik daripada vespa bututnya, ia tak lagi berdoa mohon perlindungan dan kelancaran dari Tuhan. Menurutnya, begitulah modernisme bisa menuntun orang pada sekularisme, yang berujung pada pengabaian terhadap penyelenggaraan Allah dalam hidup manusia.
Sementara itu, dari teks bacaan kedua bisa dimengerti bahwa panggilan para rasul memang berujung pada pewartaan mengenai Kerajaan Allah yang mendekati hidup manusia. Akan tetapi, tugas pewartaan itu tidak dilakukan dengan pendekatan sekularistik tadi. Mereka tetaplah dalam lingkaran yang berpusat pada guru mereka yang memungkinkan mereka tetap tercantol pada Allah. Di situ kiranya terlihat relevansi agama: bukan ritualnya, bukan ajaran moralnya, bukan jumlah jemaatnya, bukan pula jumlah menteri, dan lain sejenisnya. Persekutuan umat membantu orang beragama untuk menambatkan diri pada Allah, bukan untuk berlomba membuat hal-hal hebat seturut agenda pribadinya sendiri. Yang kedua ini sangat rentan untuk memandang persekutuan lain sebagai ancaman, lupa bahwa poin pokoknya adalah tambatan kepada Allah itu sendiri.
Orang boleh bawel kalau persekutuan lain jelas-jelas melanggar prinsip kemanusiaan; misalnya menista agama mereka sendiri dengan tindak korupsi, ketidakadilan, atau kekerasan. Kalau memang persekutuan umat yang berbeda itu sungguh-sungguh meningkatkan kualitas hidup manusia, membawa mereka kembali pada fitrah mulia, mengapa orang bawel? Mengapa orang beragama mesti ribut karena orang beragama lain juga menjalankan kebaikan? Bukankah itu malah jadi indikator bahwa agama jadi berhala baginya? Bukankah itu justru menunjukkan orang beragama tak lagi memercayai rahmat Allah bagi semua orang? Bukankah itu berarti orang tak ikhlas dan bebas menghayati agamanya sendiri (karena di kepalanya hidup virus yang memaksa orang lain supaya jadi seperti dirinya)?
Tuhan, mohon rahmat supaya kami sungguh dapat tinggal bersama-Mu dalam setiap tugas dan pekerjaan kami. Amin.
RABU BIASA XIV B/2
Peringatan Wajib S. Benediktus Abas
11 Juli 2018
Rabu Biasa XIV A/1 2017: Heavenly Idol
Rabu Biasa XIV C/2 2016: Mulai dari Fitrah
Rabu Biasa XIV B/1 2015: Hari Gini Kristenisasi?
Rabu Biasa XIV A/2 2014: Dua Jenis Golput
Categories: Daily Reflection