Katanya cinta tidak harus memiliki. Kata saya: cinta harus tidak memiliki. Yang pertama biasanya jadi penghiburan mereka yang gagal mendapatkan jodoh, sedangkan yang kedua jadi alasan bagi orang seperti saya yang bermoto jomblo forever, atau bagi orang yang cuma mau bebas jadi pemangsa alias predator.
Mari lihat peristiwa internasional yang belakangan viral mengenai 13 orang yang terjebak dalam gua di Thailand. Berbagai elemen masyarakat terlibat dalam penyelamatan meskipun 13 orang itu bukan sanak keluarga mereka. Artinya, orang tidak harus memiliki anak untuk menyelamatkan anak-anak yang terjebak dalam gua itu. Apakah di antara mereka ada anggota keluarga dari 13 orang itu. Kiranya ada, tetapi fakta bahwa sukarelawan tidak memiliki relasi kepemilikan dengan 13 orang itu menunjukkan bahwa cinta memang tidak harus memiliki: memiliki boleh, tak memiliki juga gak papa.
Andaikanlah warga Thailand itu berpedoman “asal anakku sudah selamat”, apa jadinya? Berusaha keras menyelamatkan anak sendiri, tak peduli keadaan anak lain. Begitukah cinta? Tidak. Mereka memikirkan 13 orang yang mesti diselamatkan. Ini bukan lagi soal “anakku atau bukan”, melainkan soal “siapapun yang membutuhkan” entah anakku atau bukan. Ini bisa paralel dengan hal lain: “agamaku atau bukan”, “sukuku atau bukan”, “bangsaku atau bukan”, dan seterusnya. Maka, menurut saya, cinta malah harus tidak memiliki karena (1) jika cinta memiliki, orang masih harus terus memilah-milah apakah cintanya berpamrih atau tidak (karena kerancuan antara cinta dan narsisme) dan (2) jika cinta harus memiliki, namanya bukan lagi cinta, melainkan attachment.
Perangkapnya terletak pada konsep kepemilikan yang sudah salah kaprah dan tak dimengerti secara heuristik (silakan klik atau sentuh kata itu untuk penjelasannya) karena hobi romantis: kau tercipta untukku, kita saling memiliki, dan seterusnya. Apa ada sih orang yang bisa memiliki orang lain? Tidak mungkinlah. Boro-boro memiliki orang lain, memiliki jiwa sendiri pun tidak bisa!
Kalau begitu, perkawinan pun tak perlu dimengerti sebagai legalisasi kepemilikan karena semua orang toh milik Tuhan (atau bagaimanapun sebutannya). Alih-alih konsep kepemilikan, konsep komitmen bisa lebih menjelaskan cinta yang melampaui batas ikatan formal sosial. Cerita penyelamatan 13 orang cukup menunjukkan bahwa orang-orang yang terlibat dalam misi penyelamatan itu adalah orang-orang yang committed terhadap kemanusiaan, bukan orang-orang yang attached alias terlekat pada 13 orang itu.
Jadi, cinta memang “harus tidak memiliki” dalam arti sikap lepas bebas demi komitmen yang lebih mulia. Ikatan perkawinan, dengan demikian, adalah ikatan komitmen dua pihak untuk hidup secara tertentu.
Refleksi itu muncul ketika saya membaca teks hari ini: apabila seseorang tidak menerima kamu dan tidak mendengarkan perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu. Itu adalah wanti-wanti supaya orang punya sikap lepas bebas, apapun komitmennya. Lha ini yang susah. Biasanya orang kerja keras dan habis-habisan lalu ancur hatinya jika hasilnya tak sesuai harapan. Orang terbuai oleh paradigma kepemilikan yang adalah antek-antek pola relasi kekuasaan, baik terhadap barang maupun orang.
Let’s do the best and let God do the rest jadi susah karena orang lebih akrab dengan attachment daripada commitment.
KAMIS BIASA XIV B/2
12 Juli 2018
Kamis Biasa XIV A/1 2017: Sini Pergi
Kamis Biasa XIV C/2 2016: Konduktor atau Resistor
Kamis Biasa XIV B/1 2015: Allah Tidak Eksklusif
Kamis Biasa XIV A/2 2014: Don’t Burden Yourself
Categories: Daily Reflection
Halo romo
Sya juga mengikuti berita itu, dan trimakasih atas postingan romo yg menginspirasi saya hehehehe
tapi “nderek” komen ya mo dari perspektif yg beda
… trsebutlah mantan biksu (atau mantan santri atau mantan frater bagi yg sulit menerima perbedaaan) yg menuruti anak asuh nya pergi ke dalam gua dan akhirnya berhari2 trperangkap di dalamnya dan di nyatakan hilang.. setelah di ketemukan rasa cemas menghantui orang tua dari anak2 yg ada dlm gua,, para orang tuapun menitipkan pesan kepada mantan biksu itu agar tidak menyalahkan dirinya(sebenarnya dia tdk salah) dan menjaga anak 2nya.. dan alih2 eks biksu itu membela diri atau lari dari tanggung jawab dia malah meminta maaf dan berusaha menjaga anak2 sebaik dia bisa.. mungkin dari peristiwa itu dia bisa merasakan kehadiran Tuhan.. dan “melihat Tuhannya” di hati anak anak yg mungkin panik atau putus asa dengan menenangkan, menguatkan, dan dengan membantu menyelamatkan anak mungkin dia seolah”memuliakan Tuhan” tanpa peduli kondisinya… (sory lho mo mungkin komen sya nggak sebagus postingan romo hehehe).. tapi postingan romo dn peristiwa itu bisa jadi semacam “arah” bagi saya…. heheehe maturnuwun romo BD.
#ekkapolchantawong
LikeLike
Terima kasih komennya Mas (aja deh) HPI, hehe…
LikeLike