Apakah kesusahan hidup atau penderitaan itu punya maksud tujuan? Kalau punya, apakah orang mau menanggungnya? Kalau tidak, jangan-jangan memang penderitaan itu tak punya maksud tujuan. Tapi, yang menentukan punya tujuan atau tidak itu siapa ya?
Narasi teks bacaan pertama hari ini sepertinya menerangkan kepada pembaca bahwa segala sesuatu itu punya rasionalitasnya sendiri-sendiri dan nanti ujung-ujungnya ketemu di suatu poin seturut rencana Allah (yang ditafsirkan manusia). Yusuf, setelah dijual oleh saudara-saudaranya sendiri dan jadi budak, jadi andalan utama Firaun. Tak hanya itu, ia bahkan merefleksikan kisah pahitnya sebagai momen Allah menyuruhnya mendahului keluarganya ke Mesir supaya hidup mereka terpelihara.
Nota Béné! Yusuf tidak mengatakan bahwa Allah menginginkan saudara-saudara mereka menjualnya sebagai budak belian. Artinya, rasionalitas kejahatan saudara-saudara Yusuf itu bukanlah rasionalitas Allah.
Dengan kata lain, orang beragama perlu kritis kalau mengucapkan kalimat semacam “Semua ini sudah takdir Allah” atau “Semuanya sesuai kehendak Allah”. Karena kalau tidak kritis, malah imannya sendiri jadi aneh: mosok iya sih Allah menakdirkan Hitler melakukan genosida atau aparat negara menghabisi jutaan warga dengan label tertentu? Allah macam mana pula itu? Mengenai ini saya sudah tulis agak komplet dalam posting Allah di Kalijodo, tetapi baiklah narasi Yusuf tadi dilihat juga sebagai narasi pengharapan manusia beriman.
Pengharapannya tentu tidak diarahkan pada rasionalitas kejahatan, seakan-akan justru orang putus asa karena hasil akhirnya ada di tangan Allah juga. Sebaliknya, harapan itu ditumpukan pada pewartaan Kerajaan Allah yang sudah saya bahas kemarin. Memang ada nuansa bahwa mereka yang menolak pewartaan Kerajaan Allah itu kelak akan menanggung penghakiman yang lebih berat daripada yang ditanggung Sodom dan Gomora. Akan tetapi, itu tidak mengatakan bahwa Allah tidak menyelamatkan mereka.
Kalau begitu, orang beriman tak perlu pusing mengenai penderitaan, kejahatan, penyakit, kepahitan hidup. Kalau telanjur pusing ya minum obat pusing kepala, tetapi katanya lebih baik preventif daripada kuratif, kan? Preventifnya ya itu tadi: tak usah berlama-lama memikirkan rasionalitas kejahatan orang lain (kecuali berprofesi detektif) karena toh nanti ujung-ujungnya ya akan ketemu pada poin keselamatan Allah itu. Yang jauh lebih penting adalah fokus pewartaan Kerajaan Allah tadi: menyembuhkan orang sakit dan bukannya membuat orang lain dan diri sendiri sakit, memberi daya hidup sesama dan bukannya mematikan niat baiknya, mengusir roh jahat daripada bersekongkol dengannya, membantu mereka yang tersingkir daripada malah menyisihkan mereka, dan seterusnya.
Singkatnya, Allah itu setia (ora mung nèk awan, mugakno jênêngku dudu setiawan), bagaimanapun pahitnya hidup orang, karena kepahitan itu sendiri bukan bikinan Allah, melainkan bikinan orang sendiri (kalau bukan orang lain ya diri sendiri toh) yang itu tadi: gak mau menerima pewartaan Kerajaan Allah. Yang begini ini dijamin pusing karena fokusnya ngalor ngidul ngetan ngulon ngisor ndhuwur kiwa tengen ngarep mburi (ke utara ke selatan ke timur ke barat ke bawah ke atas kiri kanan depan belakang).
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk senantias berfokus pada perluasan cinta-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XIV C/1
Peringatan Wajib S. Benediktus, Abas
11 Juli 2019
Kej 44,18-21.23b-29;45,1-5
Mat 10,7-15
Kamis Biasa XIV B/1 2018: What Belongs to Love?
Kamis Biasa XIV A/2 2017: Sini Pergi
Kamis Biasa XIV C/2 2016: Konduktor atau Resistor?
Kamis Biasa XIV B/1 2015: Allah Tidak Eksklusif
Kamis Biasa XIV A/2 2014: Don’t Burden Yourself
Categories: Daily Reflection
Hello Rm Andre, what a title😁 Cocok dg tulisan hari ini dan juga mungkin perasaan dr sebagian penyimak tulisan Rm atau jangan2 penulisnya sendiri hehe. Setuju banget deh dg proposisi yg Rm tulis disini, harusnya memang gak perlu pusing2 dg kebanyakan harapan, krn manusia kadang punya harapan yg bersifat heuristik (gak real, lebih sbg perumpamaan). Tadi sempat klik tautan2 merahnya dan bbrp bacaan terkait yg lalu yg relevan buat hr ini yg linknya ada di bawah. Memang setuju sih, kita harus lepas dr kelekatan (attachment), bahkan harus hidup dlm mental miskin (tapi gak perlukan niru gaya Rm yg menjalani hidup miskin selama puluhan hari tsb🤭). Cocok juga dg analogi kalau cinta itu harus tidak memiliki supaya tidak ada kekecewaan, sekaligus utk mematahkan paradigma kepemilikan dan segala harapan tetek bengek yg melekat karena merasa memiliki tsb. Moga2 bisa kembali melihat the real beauty in every event encountered daily, counting even the tiniest blessing we have in life, people we meet in any situation, the list goes on. Again hopefully it’s not a mere heuretical expectation but something humanly attainable, by walking along with God. Senang ama kutipannya: Let’s do the best and let God do the rest🙏 A small question if u want to share: have u ever been in that situation? Expectation vs Unruly Reality😊 Cara mengatasinya, kalau jawabannya ya. Thank U ya Rm Andre🙏
LikeLike
Silakan Bu’, tapi ini jawaban pertanyaan pertama saja ya. https://versodio.com/2015/04/04/sabtu-sepi-nan-galau/
LikeLike
Rm Andre, tadi link tentang pergumulan batin Rm ya pada suatu saat itu? Ada kelanjutannya gak? To be continued itu kayaknya🙏 Berkah Dalem
LikeLike