Phronesis

Kebenaran itu menguji cinta dan memicu benci. Kalau cinta yang datang, tobat dijelang, kalau benci, dosa mengikuti.

Kisah teks bacaan pertama sepertinya menunjukkan suatu happy ending: Yakub yang sekian tahun kehilangan anak kesayangannya akhirnya bertatap muka lagi dengan Yusuf di tanah asing. Dengan segala hormat dan doa bagi mereka yang kehilangan orang-orang dekatnya, saya melihat narasi Yusuf-Yakub ini sebagai noktah hidup never-ending, dan memang romantisme perjumpaan Yusuf-Yakub yang mengharukan itu bukan ending.

Untuk masuk dalam never-ending show, orang beriman mesti berkoneksi dengan Sutradaranya dan kalau ketemu, Sutradaranya itu paling-paling akan berpesan seperti tertuang dalam teks bacaan kedua: kamu itu bagaikan domba di tengah serigala, maka perlu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Aneh gak sih nasihatnya? Secara gw sih aneh: elo diumpamakan seperti domba tapi mesti meneladan ular dan merpati…#halah

Entah mengapa kata φρόνιμοι (phronimoi) diterjemahkan dengan cerdik dan ἀκέραιοι (akeraioi) tulus. Mungkin karena susah menganggap ular bijak dan merpati innocent. Saya pernah dengar kata phronesis yang menurut intuisi saya punya akar kata yang sama dengan φρόνιμοι tadi. Phronesis berarti kebijaksanaan praktis. Tak mengherankan bahwa φρόνιμοι bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sensible, wise, judicious, prudent, well behaved.

Njuk kenapa kira-kira Sutradara tadi menyodorkan nasihat itu? Ya karena dunia punya peluang untuk mencintai dan membenci Kebenaran tadi itu. Sutradara ini realistis: lebih banyak yang membenci Kebenaran daripada mencintai-Nya. Belum ada riset mengenai hal ini sih, tetapi saya yakin kalau yang mencintai Kebenaran itu lebih banyak, tentu hidup di bumi ini sudah jauh lebih baik. Artinya, orang beriman perlu mengakui bahwa ia hidup di tengah-tengah aura kebencian itu.

Di situ, orang tak bisa main hakim sendiri bahwa si A mencintai Kebenaran dan si B membenci Kebenaran. Kecuali kalau kata modalitas dan keterangan waktu ditambahkan: si C mungkin sedang membenci Kebenaran dan si D sedang kasmaran dengan Kebenaran. Umat beriman tidak bisa mengklaim secara definitif bahwa dirinya domba dan tetangganya serigala, dirinya beriman dan perebut suaminya aligator, dirinya di jalan Allah dan yang lain di jalan setan. Kalo’ jelas gitu sih tak perlu nasihat supaya practically wise and blameless!

Justru karena setiap orang berpotensi jadi serigalalahlahlahlah, orang beriman mesti punya kebijaksanaan praktis! Ndelalahnya, dalam teks itu juga dianjurkan supaya orang beriman, kalau jelas ditatapkan pada para serigala, tak perlu khawatir soal bagaimana dan apa yang harus dikatakan. “Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu.”

Nah, itu penting. Orang beragama bisa menafsirkannya sebagai bahasa Roh ala alay gitu deh, ngecipris gak karuan dan setelah itu gak ngarti barusan omong apa.😂😂😂
Saya tuh ya pernah di tengah-tengah khotbah njuk terheran-heran sendiri karena mengatakan sesuatu yang baik (padahal yang saya siapkan jelek😂). Akan tetapi, saya tak perlu mengklaimnya sebagai bahasa Roh. Itu bisa dijelaskan psikologi; bukan kompetensi saya.

Mari lihat teksnya saja: Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu. Jelas sekali: Roh itu bicara di dalam diri Anda, artinya, Anda semestinya mendengarkannya (bukan malah ngecipris gak karuan!). Hasil pendengaran Roh dan pengamatan konteks hidup Anda itulah yang menentukan kualitas phronesis alias ‘cerdik seperti ular’ tadi.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan-Mu yang memerdekakan kami dari segala ketakutan. Amin.


JUMAT BIASA XIV C/1
12 Juli 2019

Kej 46,1-7.28-30
Mat 10,16-23

Jumat Biasa XIV B/2 2018: Bahayanya Iman
Jumat Biasa XIV A/1 2017: (Sate) Kambing Tua
Jumat Biasa XIV C/2 2016: Silakan Mringis

Jumat Biasa XIV B/1 2015: Berani Nekat?
Jumat Biasa XIV A/2 2014: Apakah TV Bisa Tobat?