Kalau Anda punya waktu luang dan berminat menyimak tayangan di bawah ini, silakan simak. Kalau tidak, ya tak usah merepotkan diri meluangkan waktu dan menyimaknya.
Tayangan itu muncul di benak saya ketika membaca teks bacaan hari ini dan mempertimbangkan kenyataan hidup konkret orang beriman zaman now, terutama berkenaan dengan hidup perkawinan. Memang sih teksnya tidak langsung menunjukkan tindak kenabian Hosea yang mengambil istri perempuan sundal tetapi mau gimana lagi lha memang saya ingat cerita sewaktu kecil soal nabi yang kawin dengan perempuan sundal ini je. Apakah memang dulu terjadi begitu ya mboh, tetapi saya tak menganggap teks hari ini sebagai catatan sejarah. Menurut saya, teks ini diterima sebagai bagian dari kitab yang bisa dipakai untuk menuntun hidup orang beriman di hadapan Allah dan sesama.
Maka, entah Hosea mengawini pelacur dan kemudian pelacurnya berselingkuh dan Hosea diminta kembali atau malah berpoligami, saya tak ambil pusing karena poinnya sama: tindakan Hosea dimaksudkan sebagai peringatan bahwa umat Allah kerap menyelingkuhi Allah yang setia. Kenapa? Bagaimanapun mau dijelaskan, ujung-ujungnya karena seperti yang dibahas dalam tayangan di awal tadi: orang tak mau berkomitmen baik terhadap hal, benda, maupun orang. Kenapa? Karena selalu ada yang menarik dari hal-hal di luar komitmen itu. Tak mengherankan orang hidup dengan modal ‘mengalir saja’ dengan tolok ukur like dislike. Orang sulit melihat potensi nilai di balik hal, benda, atau orang yang tak disukainya. Sebaliknya, orang juga tak mau melihat kedangkalan di balik hal, benda, atau orang yang disukainya.
Lalu melayanglah pikiran saya pada kenyataan bahwa tak sedikit pasutri yang hidup perkawinannya amburadul dan kalau pasangan itu Katolik, celakalah salah satu atau keduanya karena mereka tak bisa cerai. Gagasan itu ada benarnya, tetapi pada kenyataannya malah membebani orang beriman sendiri yang ribut dengan relasi horisontal itu, lupa bahwa komitmen yang hendak dibangun dengan relasi horisontal itu justru adalah komitmen vertikal. Saya sendiri secara pribadi tidak melihat Gereja Katolik sedemikian sadis dan tutup mata pada persoalan konkret ini. Kemurahan pastoral ada dan kemurahan macam ini, tentu dengan pertimbangan sangat hati-hati, melampaui argumentasi berdasarkan bunyi aturan ini itu sehingga ‘kecelakaan’ dalam perkawinan tidak menjadi akhir segala-galanya.
Ini masih berbau nuansa teks kemarin: ‘kecelakaan’ itu jadi pintu masuk supaya orang semakin fokus pada komitmennya dengan Allah dan dari situ hal-hal lain bisa ditambahkan. Bacaan kedua hari ini mengisahkan bonus kesembuhan dalam proses guru dari Nazareth menangani ujung sakit manusia yang dianggap akhir hidup orang, yaitu kematian. Si guru melihatnya sebagai tahap ‘tidur’. Dia ditertawakan, tetapi begitulah, anak yang dianggap mati itu bangun lagi setelah sang guru memegang tangannya. Sementara itu, bonus kesembuhan tadi terjadi karena perempuan yang sakit berat itu punya komitmen terhadap kepercayaannya. Wujudnya? Ia mengambil keputusan dan bertindak! Itu juga yang dibuat Hosea maupun guru dari Nazareth. Inilah kisah mengenai komitmen yang barangkali tak semakin mudah pada zaman now.
Tuhan, mohon rahmat kekuatan supaya segala komitmen kami senantiasa bermuara pada cinta-Mu sendiri. Amin.
SENIN BIASA XIV B/2
9 Juli 2018
Hos 2,13.14b-15.18-19
Mat 9,18-26
Senin Biasa XIV A/1 2017: Ayo Tidur (Lagi?)
Senin Biasa XIV C/2 2016: Iman Penjamin Mutu
Senin Biasa XIV B/1 2015: Agama Kok Eksklusif
Categories: Daily Reflection