Jangan Mengobjekkan Tuhan

Mungkin ini bisa dibilang lanjutan posting bunuh-bunuhan Buddha dan Yesus itu (Let’s Kill Jesus) dengan rumusan lain: jangan coba-coba menggapai Tuhan dengan pikiran Anda, Anda takkan pernah berhasil; gapailah Dia dengan cinta, itu mungkin (Charles de Foucauld).
Loh, kata Romo cinta itu ya mikir, bukan sekadar rasa merasa; jadi ya tetap memakai pikiran dong! Betul, tapi pikiran yang dipakai di situ adalah pikiran dalam frame relasi antarpribadi, bukan relasi kekuasaan. Halah, omong apaan sih?!

Instruktur public speaking mungkin akan mengajari kita untuk menganggap audiens sebagai batu demi mengurangi rasa grogi kita di depan khalayak ramai. Kita tahu bahwa mereka itu kumpulan orang, tetapi demi mengontrol kecemasan kita, mereka kita objekkan sebagai batu. Contoh lain: ketika kita berhadapan dengan orang lain, tengah bercakap-cakap dan saat melirik hape ada pesan atau panggilan masuk dan kita menanggapi pesan itu tanpa menggubris orang di hadapan kita. Kita menganggapnya seperti speaker yang membunyikan musik dan kita tak ingin mendengarkannya karena kita pikir pesan atau panggilan masuk itu lebih penting dari omongan orang di hadapan kita. Kita menguasainya. Kita mengobjekannya.

Jika kita percaya bahwa Allah adalah sosok pribadi, kita tak mungkin mengobjekkan-Nya. Kita mesti berelasi dengan-Nya dan relasi mengandaikan dua arah. Relasi dua arah ini membangun perjumpaan. Tanpa perjumpaan, terjadi pengobjekan. Andaikanlah kita berkirim sms konfirmasi kedatangan dan pada hape terbaca bahwa pesan terkirim. Provider bermasalah atau sedang dalam maintenance. Orang yang kita kirimi sms menanti sms kita, yang baru tiba esok harinya. Nama kita dicoret dari daftar hadir. Jatah kita diisi orang lain. Maka dalam rentang waktu itu terbangun suasana saling mengobjekkan: seharusnya dia tahu bahwa aku jadi datang, seharusnya dia cari cara lain untuk konfirmasi, dan aneka ‘seharusnya’ lainnya. Pribadi direduksi, diobjekkan sebagai pemikiran kita sendiri. Tak ada perjumpaan.

Pertobatan merupakan buah perjumpaan. Orang yang semula mencari (kemuliaan) diri sendiri akan bertobat karena perjumpaan. Sebagian orang menghentikan kebiasaannya berfoya-foya ketika berhadapan dengan orang lain yang hidupnya sederhana tapi tampak gembira. Sebagian lagi jadi lebih berjiwa sosial karena pengalaman berkumpul bersama anak-anak cacat ganda. Saulus mengalami pertobatan karena perjumpaan spektakulernya dengan pribadi Yesus. Sebelum itu, ia senantiasa mengobjekkan Yesus yang diimani oleh orang-orang Kristiani: bagaimana mungkin orang mengklaim Yesus yang mati disalib itu sebagai Mesias! Mesias tak mungkin menderita dan, apalagi, mati. Alih-alih bertanya pada mereka yang membuat klaim itu, ia mengejar dan membunuh mereka.

Saulus mengalami perjumpaan saat ia sedang dalam proyek pembantaian. Menurut penuturannya, ia dan teman-temannya melihat cahaya menyilaukan, tetapi hanya dirinya yang mendengar suara. Jadi ingat pengalaman dengan Ahong lagi deh. Sebenarnya saya heran, kalau Saulus dulu keukeuh bahwa Allah hadir dan bersabda melalui Hukum Taurat yang dia junjung tinggi bersama bangsa Yahudi lainnya, mengapa ia buta bahwa Allah juga bisa hadir dan bersabda melalui kitab lain, apalagi pribadi manusia yang berakal budi? Tapi mengingat kenyataan terorisme sekarang sih, keheranan itu hilang.

Ya Allah, semoga aku semakin mampu konsisten menerima Engkau sebagai pribadi yang mencintaiku lewat aneka perjumpaan. Amin.


PESTA BERTOBATNYA S. PAULUS
Senin Biasa III C/2
25 Januari 2016

Kis 22,3-16
Mrk
16,15-18