Menjadi Bunda

Saya lupa menuliskan anekdot ini dalam buku Teologi Seksual atau Cara Menguji Ketulusan Cinta, tetapi saya ingat cerita ini ketika kemarin lihat seorang ibu mengambil panci dari tetangganya.
Jadi ceritanya si Afanti (atau Nasruddin ya? Lupa) meminjam periuk dari tetangganya. Setelah selesai, ia mengembalikan periuk itu plus periuk lainnya. Tetangganya berkomentar,”Loh, kemarin kan kamu cuma pinjam satu?”
Afanti menjawabnya,”Tetangga, kamu gak tau, sewaktu aku pinjam periukmu itu, ia hamil dan pada saat kupakai itu dia melahirkan.” Sang tetangga tertawa dalam hatinya.
“Baiklah, Afanti. Lain kali kalau butuh periuk, silakan pinjam lagi.”
Benar saja, beberapa hari kemudian Afanti meminjam periuk besar dari tetangga itu. Akan tetapi, setelah seminggu tak kunjung kembali periuknya, sang tetangga mendatangi rumah Afanti menanyakan periuknya.
“Afanti, apakah kamu masih pakai periukku itu?”
“Oh iya, tidak kupakai lagi.”
“Kalau begitu, biar aku ambil saja ya.”
“Wah, Tetangga, tidak mungkin.” Tetangga terkejut dan yang paling mengejutkan ialah penjelasannya,”Beberapa hari lalu, setelah aku pakai, periukmu itu meninggal dunia.”
Sang tetangga tak lagi tertawa dalam hati tetapi naik pitam. “Kamu kira aku bodoh? Mana ada periuk meninggal dunia?”
Jawab Afanti,”Tetangga, sewaktu aku katakan periukmu melahirkan, kamu percaya. Mengapa kamu tak percaya bahwa periuk yang melahirkan itu bisa meninggal juga?”

Njuk apa hubungannya dengan teks bacaan hari ini? Ya gak ada sih, gak harus dihubungkan juga, tetapi mungkin baik dilihat persoalan yang disodorkan Afanti tadi: kalau orang percaya, ia perlu menjaga integritas kepercayaannya itu, bukan cuma jadi oportunis, percaya cuma sejauh menguntungkan dirinya sendiri.
Nah, integritas kepercayaan itulah yang saya pakai untuk memahami atribut Bunda Maria yang sejak tahun lalu diperingati sehari setelah Pentakosta: Bunda Gereja. Dalam Gereja Katolik memang Bunda Maria ini punya banyak atribut, tetapi yang terbaru secara formal masuk dalam kalender liturgi ialah Bunda Gereja itu, dengan dekrit Paus Fransiskus yang diberi tanggal 11 Februari 2018, pada peringatan 160 tahun penampakan pertama Bunda Maria di Lourdes. Atribut ini sebetulnya sudah dikumandangkan Paus Paulus VI pada tanggal 21 November 1964, tetapi ya itu tadi, baru secara formal dimasukkan dalam kalender liturgi pada tahun lalu.

Mau apa lagi toh dengan atribut ini? Saya kira, baik juga dimengerti dalam kerangka refleksi kemarin: supaya iman orang tidak gosong, kêbablasên, jadi oportunis doang. Biar bagaimanapun, gelar terhadap Santa Maria ini hanya masuk akal dalam konteks sentral anaknya. Per Mariam ad Iesum, begitu bukan? Kalau begitu, gelar Bunda Gereja sebetulnya juga ‘cuma’ menegaskan kedekatan relasi antara Santa Maria dan orang-orang beriman yang senantiasa menantikan Roh Kudus.
Ini pasti bukan soal periuk besar yang bisa melahirkan periuk kecil, melainkan soal sikap adil dalam perkara lahir batin. Bunda Maria dalam teks-teks bacaan hari ini digambarkan sebagai pribadi yang begitu mencintai dan dicintai Guru dari Nazareth dan murid-muridnya. Meskipun demikian, kecintaan ini tidak membuatnya kêbablasên, mengambil alih tugas putranya, yang dalam kepercayaan agama akan datang sebagai hakim dunia
. Yang gosong malah sebagian pengikut agama yang hendak mengambil alih penghakiman itu sekarang ini dan di sini dengan klaim-klaim oportunisnya.

Tuhan, mohon rahmat untuk meneladan Bunda Maria yang senantiasa dekat dengan-Mu dan kemanusiaan kami. Amin.


Peringatan Wajib SP Maria, Bunda Gereja
10 Juni 2019

Kis 1,12-14 / Kej 3,9-15,20
Yoh 19,25-34