Semoga Satu

Ini bukan cerita nyata, tetapi diambil dari kenyataan. Saya tidak asing dengan hidup biara. Sekurang-kurangnya, saya mengerti apa artinya jadi pertapa. Selebih-lebihnya, lha ini yang mau saya ceritakan. Latar waktunya kurang lebih seperti yang saya jalani: tidur jam delapan malam lalu bangun dua-tiga jam setelah tengah malam. Nah, aktivitas pertapaan setelah bangun itu yang tidak saya jalani. Para pertapa biasanya tanpa mandi [ngapain juga mandi jam 3 pagi] berkumpul dulu untuk doa bersama. Saya juga tidak mandi segera setelah bangun, tetapi saya tidak berkumpul untuk doa bersama. Lha bersama siapa wong yang lain bangunnya jam tiga atau jam empat atau lima, bahkan ada yang jam enam atau lebih?😂
Oh, tapi soal jadwal itu, bisa Anda lihat misalnya pada tautan ini, siapa tahu Anda berminat jadi rahib.

Nah, kalau Anda cermati jadwal biara itu, ada sepuluh kali para biarawannya kumpul untuk ibadat, yang pada umumnya memakai lagu-lagu dengan pola tertentu. Tentu ada variasi, tapi variasinya juga sudah terpola; gak bisa seperti penyanyi zaman now menembangkan Indonesia Raya dan lagu-lagu nasional dengan cengkokan ganjen bin centil.🤭
Bisakah Anda membayangkan bagaimana setiap hari sepuluh kali ketemu orang yang itu-itu aja dan melantunkan lagu yang itu-itu aja?

Cerita saya tidak merujuk pada rutinitas yang membosankan. Itu relatif. Nyatanya Anda tidak bosan pada rutinitas menghirup udara yang tak berbau, bukan? Cerita saya ini soal bagaimana para biarawan itu bisa mengalami konflik keras ‘hanya’ karena perkara yang satu suaranya fals atau kalau menyanyi bersama itu mesti ketinggalan satu ketukan atau lebih cepat setengah ketukan [kayak gimana tuh setengah ketukan?]. Begitu kerasnya konflik itu sehingga bahkan bisa jadi anggotanya tidak krasan dan lalu meninggalkan pertapaan.

Trus, ceritanya gimana, Rom?
Oh iya ya, tapi ini dah kepanjangan. Mending berdoa saja seperti disodorkan dalam teks hari ini: supaya semua menjadi satu, juga atau justru dalam aneka perbedaan.
Bayangkanlah, dua hari lalu, Buya Syafii Maarif meninggal dunia, dan konon tega-teganya ada yang berucap alhamdulillah (karena hilang satu penentang syariah!). Mungkin bagi orang yang tega seperti inilah Anda dan saya perlu berdoa: supaya mereka menjadi satu, supaya dapat memperluas wawasan untuk berkomunikasi dengan Yang Satu itu dan berimbas baik pada komunikasi dengan yang lain.

Kalau tidak begitu, nanti jadinya seperti mereka yang konflik keras karena suara fals dan setengah ketukan tadi. Yang dikejar bukan komunikasi dengan Tuhannya, tapi keseragaman ketukannya; padahal komunitas kaum beriman mestinya bukan sekadar menyanyikan lagu bareng, melainkan komunitas kemanusiaan yang melambungkan harmoni dari aneka macam perbedaan. Amin3.


HARI MINGGU PASKA VII
Hari Minggu Komunikasi Sedunia
29 Mei 2022

Kis 7,55-60
Why 22,12-14.16-17.20
Yoh 17,20-26

Posting 2019: Sahabat Sejati Jaya
Posting 2016: Roh Pecah Belah