Ta’perah

Published by

on

Sewaktu saya antre mengurus reimburse biaya operasi kakak saya di kantor BPJS Ketenagakerjaan, saya menduga-duga bahwa jumlah klaim BPJS Ketenagakerjaan ini mestinya lebih sedikit daripada jumlah klaim BPJS Kesehatan. Dari tautan ini saya mendapat informasi bahwa jumlah klaim JKK (Jaminan Keselamatan Kerja) dan JKM (Jaminan Kematian) semakin meningkat, tetapi dalam periode tahun lalu sampai November, BPJS Ketenagakerjaan membayarkan 461 ribu kasus klaim dengan total nilai 5,73 milyar rupiah. 

Mari berandai-andai. Jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan sampai tahun lalu adalah 40-an juta dengan dana yang dikelola sampai hampir 700 trilyun rupiah (tautannya ada di sini). Apa artinya 5,73 milyar di hadapan 700 trilyun ya? Katakanlah, sejak merdeka tahun 1945 setiap tahunnya negara mengeluarkan 5,73 milyar per tahun, total pengeluarannya hanyalah 450-an milyar. Masih tersisa 600-an trilyun! Atau, biar kelihatan tak terlalu bombastis, andaikanlah 5,73 milyar itu pengeluaran per bulan. Itu berarti, 79 tahun dikalikan 12 bulan dikalikan 5,73 milyar: 5,432 trilyun. Masih tersisa 600-an trilyun juga!

Bayangkanlah, BPJS Ketenagakerjaan bahkan menargetkan di akhir tahun ini dana yang dikelolanya mencapai 800 trilyun (ini tautannya)! Mantab skale’, bukan? Yang melegakan ialah, tampaknya BPJS Ketenagakerjaan sangat realistis mengenai pengelolaan itu dan pantas diacungi jempol bahwa BPJS Ketenagakerjaan menyodorkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) berupa program perumahan. Artinya, peserta BPJS jenis ini punya peluang untuk memiliki rumah. Simaklah tautan ini kalau Anda memerlukan informasi awalnya. Lumayan loh, KPR bisa maksimal 500 juta rupiah!

Sayangnya, niat baik BPJS Ketenagakerjaan untuk mengakomodasi program kepemilikan rumah ini malah dicoreng oleh program baru yang mengingatkan saya pada sapi perah. Tak ada yang perlu saya pamerkan: gaji saya lebih tinggi dari UMR, dan aneka potongan atau tabungan (termasuk untuk BPJS, baik kesehatan maupun ketenagakerjaan) mendekati setengah trilyun #eh juta rupiah. Jika potongan atau tabungan itu ditambah dengan Tapera, kiranya total potongan atau tabungan saya lebih dari setengah juta rupiah. Alhasil, gaji pokok saya sebelas dua belas dengan UMR. Aman. Begitulah jika saya berpikir dari perspektif individual. Saya aman-aman saja; iuran tambahan 70-100 ribu masih bisalaaaaa.

Akan tetapi, di atas saya dan jutaan pekerja lain ada perusahaan yang rupanya juga ikut menanggung program sapi perah ini. Bisa jadi, mereka ini menanggung sampai beberapa puluh persen beban pembiayaan asuransi begini dan bukankah itu juga pasti berpengaruh pada biaya produksi?
Dari sudut pandang pengelolaan dana BPJS tadi, masih kurangkah ratusan trilyun rupiah untuk program kepemilikan rumah sehingga harus memakai skema tabungan perumahan rakyat [atau jangan-jangan ratusan trilyun itu gimana gitu]?
Anda boleh memberi nasihat supaya orang menabung demi masa depan, tetapi memaksa orang menabung di bawah paksaan hukum, itu adalah representasi tangan besi yang merenggut hak asasi.

Bacaan hari ini menyoal kegagalan para murid memahami ajaran Yesus mengenai dimensi sosial-politik gerakannya. Sudah saya bahas dalam posting Iman Tipis2, ini adalah wanti-wanti ketiga Yesus (setelah disodorkan pada Markus bab 8 dan 9), dan untuk ketiga kalinya juga para murid menunjukkan kedunguan mereka. Saya ingat pengalaman teman saya berkunjung ke daerah dan setiap kali penerima tamunya menjawab pertanyaan selalu diawali dengan frase “Siap” sampai teman saya mungkin jengah dah akhirnya menegur. “Pak, kita ini bukan militer. Saya juga bukan polisi. Jadi, Bapak tak usah menjawab saya dengan “siap” begitu. Oke?”
“Siap, Pak!”

Para murid mengira mereka sedang mengikuti guru yang bakal jadi presiden terpilih dan sekarang ini mereka butuh jaminan untuk posisi strategis sebagai orang kepercayaan guru mereka. Akan tetapi, Yesus jelas tidak sedang dalam gerakan untuk merebut posisi siapa pun. Dia lebih concern pada bagaimana posisi kekuasaan itu dijalankan dan secara implisit dia katakan bahwa murid-muridnya berpikir sebagaimana penguasa bangsa menjalankan kekuasaannya: tangan besi.

Pada masa hidup Yesus, beban pungutan pajak bukanlah perkara kecil. Aneka pungutan legal, plus yang ilegal, benar-benar mencekik rakyat yang tak punya akses pada dinasti politik; mereka terperosok dalam debt trap bin jerat hutang. Yesus tidak hendak melawannya dengan mengambil posisi kekuasaan, tetapi dengan menerapkan pelayanan satu sama lain. Dalam skema politik pelayanan ini, tak ada penguasa atau pejabat yang memegang kuasa politik-ekonomi dengan tangan besi yang bisa mewajibkan apa saja yang dianggapnya baik. Mari kita cerna Surat Al-Baqarah ayat 256: There shall be no coercion in matters of faith. Tentu, naiflah mendemarkasi iman hanya dalam perkara ritual. Juga dalam mengeksekusi kebaikan, pelayanan, amal, pemaksaan membatalkan ketulusan; itu mengapa saya tidak tertarik pada kebaikan yang bersifat kompulsif dan mekanis seperti robot.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya tangan-tangan kami tak menjadi kaku laksana besi untuk memerah sesama. Amin.


RABU BIASA VIII B/2
29 Mei 2024

1Ptr 1,18-25
Mrk 10,32-45

Rabu Biasa VIII B/2 2018: Tiga Kali Salah
Rabu Biasa VIII C/2 2016: Bagi-bagi Pahala Dong
 

Rabu Biasa VIII B/1 2015: Jangan Tuntut Ilmu

Previous Post
Next Post