Bagi Dong

Published by

on

Pada awal abad kedua, ada hakim eksekutif kekaisaran Romawi, Plinius muda, yang kebingungan memenuhi titah Kaisar Trajanus untuk membunuh siapa saja yang mengaku diri Kristen. Kenapa dia bingung? Lha wong di wilayahnya itu, sekarang masuk Turki, berjajar aneka orang Kristen. Di kota-kotanya, begitu banyak orang mengaku Kristen: laki-perempuan, tua-muda, tuan-budak, kaya-miskin. Begitu juga halnya di desa-desa. Kalau mereka semua ini dibunuh, njuk gimana bisa dapat pungutan pajak untuk tabungan perumahan rakyat, jal? [Tentu ini bumbu yang tak diberikan Plinius.]

Kebingungan itu memantik rasa kepo: orang-orang Kristen ini macam mana pula sampai-sampai Kaisar memandatkan begitu? Dari rasa kepo itu Plinius menyelidiki siapa dan apa yang dibuat orang Kristen itu. Kira-kira begini bunyi laporannya: Orang-orang Kristen itu di hari Minggu pagi berkumpul dan menyenandungkan kidung pujian bergantian kepada Kristus seakan-akan Kristus itu adalah Tuhan mereka. Lalu, mereka mengucapkan sumpah niat kuat untuk tidak terlibat dalam kejahatan, tidak mencuri atau bersekongkol untuk merampok, tidak berzinah, tidak ingkar janji, tidak menunda pemenuhan klaim yang sesuai dengan prinsip keadilan. Setelah ritual itu selesai, mereka berpencar seturut tempat hidup dan kerja mereka. Sore hari mereka berkumpul lagi untuk kenduri.

Nah, kendurinya tak perlu dibayangkan persis seperti kenduri orang Jawa, tetapi kiranya yang diamati Plinius itu adalah kebiasaan pemecahan roti yang diawali oleh gerakan Yesus dari Nazareth. Dalam kekristenan modern, kebiasaan itu menjadi perayaan Ekaristi. Pada zaman now, Ekaristi bisa jadi diterima sebagai kegiatan ritual belaka, tetapi dulunya itu jadi strategi jemaat untuk melawan imperialisme Roma. Betapa tidak! Seperti dilaporkan Plinius, mereka ini tidak beribadah seperti orang Yahudi (yang beribadah pada hari Sabat alias Sabtu) tetapi juga tidak mengikuti ritual penyembahan dewa matahari atau kultus kekaisaran.

Dalam arti tertentu, mereka menyembah Allahnya para budak, yang dihormati lewat “Hamba Allah” yang disebut Yesus, yang telah tunduk pada hukuman mati ala Romawi yang memang hanya dijatuhkan kepada para budak, kasta terendah kekaisaran. Yesus diterima sebagai harapan para budak, yang dianggap terkutuk dalam hidup yang tak manusiawi. Ini adalah pesan provokatif bagi sistem politik yang pertumbuhan ekonominya begitu subur di atas perbudakan [dan perpajakan]. Jadi, sementara orang-orang kekaisaran dan antek-antek mereka mengikuti ritus kekaisaran untuk menyembah Kaisar, Gereja perdana ini punya ritus sendiri untuk ibadah mereka, dan di situ para budak berpartisipasi.

Dengan begitu, jemaat Kristen ini menampilkan kontras, meskipun tidak bisa terang-terangan: sementara orang-orang Romawi berlutut di depan altar di kuil di mana para imam yang bersantai mempersembahkan korban kepada dewa-dewa yang berkuasa, dewa-dewa yang ‘perantaranya dengan manusia’ adalah kaisar sendiri, para pengikut Yesus justru melakukan hal yang sebaliknya. Tuan dan budak, pria dan wanita, orang Yahudi dan bukan Yahudi duduk mengelilingi meja di rumah mereka sebagai sebuah komunitas yang setara, tidak hanya berbagi kehidupan Allah mereka dalam sebuah perjamuan perjanjian, tetapi juga menjalankan peran sebagai imam di dalam, dengan dan melalui Kristus.

Meja makan versus mezbah korban bagi berhala; persekutuan jemaat egaliter versus piramida kekuasaan imperial; umat imamat yang duduk bersama dengan Allah mereka sebagai tamu, tuan rumah, dan makanan berhadapan dengan para imam kafir yang sedang berdoa kepada berhala-berhala sambil memunggungi orang-orang yang berlutut dalam ketakutan; solidaritas dengan para korban Kristus yang diekspresikan dalam pengorbanan diri meruntuhkan keimaman kultus dari kelas atas yang menenangkan para dewa dengan persembahan-persembahan ritual; dan akhirnya, Allah yang telah mendirikan kemah-Nya di antara para budak mendustai para allah yang diciptakan oleh sebuah kekaisaran yang memiliki budak-budak.

Pada awal abad ke-4 saat Kaisar Diokletianus berkuasa, di wilayah Afrika Utara yang sekarang dikenal dengan Tunisia, ada puluhan pria dan belasan wanita Kristen ditangkap karena tuduhan pertemuan ilegal. Betul, mereka tidak mengikuti kultus kekaisaran dan malah bikin ritual sendiri. Imam yang memimpin pertemuan itu, Saturninus, diinvestigasi mengapa tidak mengikuti kultus kekaisaran di hari Minggu. Jawabnya: kami mesti merayakan hari Tuhan seturut hukum kami. Diinterogasi juga tuan rumah pertemuan itu mengapa menerima orang-orang Kristen di rumahnya [dan bukan di tempat ibadat!]. Jawabnya: karena kami tidak bisa hidup sebagai orang Kristen tanpa perayaan Ekaristi. Victoria, gadis muda yang juga diinterogasi, menjawab dengan gamblang memang dia adalah orang Kristen.

Dengan begitu, jelas ya, bahwa jemaat Gereja perdana tidak berkumpul di tempat yang dianggap sakral sebagaimana sekarang Anda akan berpikir mengenai bangunan gereja atau tempat ibadat lain. Tidak. Poinnya adalah jemaat berkumpul untuk pemecahan roti dan di balik pemecahan roti itu Anda lihat rationalenya: membangun komunitas seperti dulu diinisiasi oleh gerakan Yesus sendiri.

Komunitas egaliter yang tidak tergantung pada kekuatan eksternal, yaitu imperial Romawi, itulah jati diri Gereja perdana, yang hidup dari Ekaristi dalam solidaritas yang sangat kuat untuk hidup berdikari. Tentu, dalam sejarahnya, Ekaristi ini mengalami aneka perubahan seiring dengan status kekristenan yang berubah. Konsili Vatikan II sesungguhnya berupaya mengembalikan semangat Gereja perdana yang mengintegrasikan Ekaristi dengan hidup komunitas yang penuh solidaritas, termasuk dalam ekonomi, yang sama sekali berbeda dari politik bansos. Akan tetapi, menurut saya, sebagian masih terlalu jauh untuk menangkap roh KV II ini dan kesadarannya lebih tertambat pada devosi Ekaristi, yang pada dirinya tentu baik, tetapi bisa misleading juga karena perhatian orang akan lebih disibukkan dengan apa yang kasatmata.

Teks bacaan hari ini menunjukkan bahwa perjamuan yang dibuat Yesus itu ada di senakel, ruang atas, yang sekaligus simbolik untuk komunitas egaliter yang pola pikirnya tidak lagi keukeuh dengan yang kasatmata, tetapi pada panggilan untuk menata yang kasatmata dengan pola pikir yang disodorkan gerakan Yesus dalam Ekaristi: egaliter, inklusif, rejeki dari dan bagi semua.

Nah, berarti bagus dong Rom, kasih izin ormas agama untuk mengelola tambang; kasih bansos sampai tua, tarik pungutan untuk subsidi, ganti aturan biar lebih inklusif?
Iya, yang bagus mbahlulnya sampai keblinger.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami mampu menghidupi aturan main yang memungkinkan semakin banyak orang berpartisipasi untuk memecah hidup bagi sesama. Amin.


HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS B/2
2 Juni 2024

Kel 24,3-8
Ibr 9,11-15
Mrk 14,12-16.22-26

Posting 2021: Kuliner Malaikat
Posting 2018: Hidup Berdampak

Posting 2015: Awas Takhayul

Previous Post
Next Post