Kuliner Malaikat

Tidak hanya sekali dua kali saya mendengar pertanyaan di seputar pembagian Sakramen Mahakudus (hosti, roti yang sudah dikonsakrir imam Gereja Katolik dalam misa). Maklum, di sebagian gereja sekarang ini tidak semua umat dapat mengikuti ibadat baik secara daring maupun luring. Salah satu cara yang diterapkan oleh beberapa Gereja ialah menunjuk petugas untuk membagikan hosti suci itu kepada mereka yang tidak dapat mengikuti misa secara offline. Nah, kalau sudah sampai urusan teknis duniawi begini, biasanya orang bisa galfok karena semua jadi perhitungan teknis, matematis, praktis, tetapi abai pokok teologisnya. Tentu, ‘teologis’ itu makanan apa, banyak orang yang tak mengerti; jadi ngapain juga mesti memperhatikan pokok teologis, kan?🤭

Salah satu pertanyaan yang kerap dilontarkan ialah apakah diperbolehkan memberikan hosti suci itu kepada anak kos yang tinggal di rumah, yang namanya tidak terdaftar dalam kuota kelompok penerima. Ada lagi yang lebih kreatif: bolehkah memecahkan hosti suci itu dan memberikannya kepada tetangga dekat? Hal-hal seperti ini mesti bervariasi kondisinya, dan kalau saya ditanya seperti itu, biasanya saya kembalikan pada kebijaksanaan si penanya (dengan modal kepercayaan bahwa Roh Kudus bekerja). Kalau saya dipaksa lagi untuk menjawab boleh atau tidak bolehnya, saya malah balik bertanya,”What are you looking for?”

Saya curiga, lebih banyak orang yang mencari kesenangan ritual daripada kebahagiaan batin sesungguhnya. Kalau orang Katolik, misalnya, sungguh hendak merayakan Tubuh dan Darah Kristus, semestinya dia lebih risau dengan makna “makan tubuh dan minum darah Kristus” daripada aneka problem teknis tadi. Ini sama sekali tidak untuk menafikan mukjizat Ekaristi yang didokumentasikan oleh Beato Carlo Acutis, yang meninggal pada awal milenium ini. Saya yakin mukjizat Ekaristi terjadi bukan demi kemuliaan mukjizatnya sendiri, melainkan demi keyakinan iman orang bahwa Allah, dalam Kristus, hadir secara nyata dalam hidup fana ini.

Konsekuensinya bukan bahwa mukjizat Ekaristi itu dipuja-puja sepanjang masa, melainkan diasimilasikan dalam hidup orang yang percaya. Maka dari itu, bahkan kerinduan batin akan hosti suci itu semestinya paralel dengan kerinduan orang beriman untuk membiarkan hidupnya terbagikan, terutama bagi mereka yang tersisihkan. Momen Ekaristi, dengan demikian, adalah momen konkret saat indra orang disentuh dan kesadarannya diseduh supaya matanglah keyakinannya bahwa Allah itu tidak berdiri jauh-jauh, tetapi senantiasa bersama orang beriman secara nyata, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.

Apa daya, ada saja orang yang mendapat privilese mengikuti Ekaristi setiap minggu (bahkan setiap hari!) di masa berprotokol kesehatan ini, tetapi hidup di luar kesadaran tadi: bukan lagi apa yang penting bagi Allah, melainkan mana yang penting bagiku, mana yang memuliakan diriku, mana yang memuaskan aku, dan sejenisnya. Hosti suci yang adalah ‘santapan para malaikat’ (panis angelorum) akhirnya bernasib sama dengan objek kuliner: masuk mulut untuk sebentar kemudian masuk jamban.

Tuhan, mohon rahmat kesadaran supaya kami sungguh hidup dari santapan Sabda-Mu. Amin.


HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS B/1
6 Juni 2021

Kel 24,3-8
Ibr 9,11-15
Mrk 14,12-16.22-26

Posting 2019: Hidup Berdampak
Posting 2015: Awas Takhayul