Tiada Tuhan selain Allah

Di provinsi tempat saya tinggal ada kasus sate beracun kiriman wanita misterius, yang bagi orang awam seperti saya tidak mudah memecahkannya. Syukurlah, ada rekaman CCTV dan bungkus satenya, yang bisa dipakai polisi untuk memecahkan misteri ini. Label misteri tidaklah tepat karena misteri mengandaikan keterlibatan afektif subjek yang mencoba memecahkannya. Dalam kasus ini, pemecahan soalnya tidak mensyaratkan unsur afektif penyelidik, semua objek penyelidikan terukur dengan kalkulasi objektif, logis dan saintifik. Hasilnya pun bisa dicocokkan dengan pihak-pihak yang terkait.

Andaikan tidak ada rekaman CCTV dan bungkus sate, mungkinkah kasus ini terkuak? Mungkin saja, karena pengembangan kasus dapat dilakukan dari mana pun. Misalnya, jika hanya diketahui alamat tujuan pengiriman, polisi dapat mulai dari sana (menjajaki kemungkinan adanya musuh, barisan sakit hati, dan sejenisnya). Untuk detailnya, silakan tanya pada detektif partikelir atau penggemar cerita detektif. Saya hanya ingin mengambil metodologi yang mereka pakai untuk mencapai tujuan penyelidikan: mengumpulkan aneka variabel dan menguak keterhubungannya.

Bacaan pertama hari ini menegaskan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan orang beriman mestilah berpegang pada perintah-Nya. Persoalannya ialah bahwa perintah-Nya itu bukan seperti peraturan lalu lintas yang gamblang, melainkan seperti aneka variabel yang mesti disambung-sambungkan supaya klop dengan kenyataan sejati hidup manusia. Dengan kata lain, perintah Allah itu terkodifikasi dalam aneka ciptaan-Nya sendiri. Yang bikin runyam ialah bahwa dalam berhadapan dengan misteri kehidupan, misteri Allah itu sendiri, orang memakai insting perspektif tunggal. Mengapa runyam? Itu seperti kata pepatah: Give a child a hammer and everything looks like a nail. Akibatnya? Yang terpukau sains, apa-apa saja diukurnya dengan sains. Yang percaya pada agama, apa pun dievaluasi dengan agama (agamanya sendiri pula). Yang jadi bucin, tahu sendiri deh…

Maka, teks bacaan Injil hari ini, sebagai salah satu kodifikasi perintah Allah itu, oleh orang berinsting perspektif tunggal, bisa jadi hanya berarti perintah untuk membaptis orang dan baptisan pun hanya berarti secara formal membuat orang tercatat sebagai orang beragama Kristen/Katolik.
Merayakan Tritunggal Mahakudus berarti merayakan interconnectedness: bahwa apa pun yang dikerjakan orang beriman, sudah semestinya sambung baik-baik dengan Pemilik Kehidupan. Seperti pengembangan kasus sate beracun tadi, dalam perspektif Kristen, sambungnya aneka variabel hidup itu dimungkinkan oleh tindakan iman bersama Guru dari Nazareth dan tentu saja dengan bantuan Roh Kudus. Ini bukan perkara ada berapa Tuhan: sudah ditegaskan bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Akan tetapi, language is power, sedangkan power tends to corrupt. Bisa dimengerti aneka kesalahpahaman ketika orang Kristen mengatakan “Tuhan Yesus”. Lha kenapa? Karena memang tiada Tuhan selain Allah. Barangkali jadi beda perkaranya jika kata Tuhan itu bisa diganti dengan kata Jawa: Gusti. Gusti Yesus bukanlah Gusti Allah. Tapi, ini mungkin cuma wacana di kepala yang tak relevan bagi banyak orang.
Btw, beberapa hari lalu saya dapatkan kutipan ucapan Hari Waisak dengan kalimat begini: tidak ada jalan menuju kebahagiaan, kebahagiaan itu adalah jalannya. Segera setelah membaca itu saya langsung teringat teks Yohanes ketika muridnya bertanya bagaimana mereka bisa sampai ke tempat yang dituju Sang Guru kalau tidak tahu jalannya. Jawaban Si Guru: Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Itulah misteri, bukan karena seperti kasus sate beracun, melainkan karena menuntut pendengarnya menghidupi paradoks kebahagiaan sebagai suatu jalan.

Bisa jadi, merayakan Tritunggal Mahakudus adalah perkara mengikuti Kristus. Tentu saja, ‘mengikuti Kristus’ bagi saya tidak mesti sama dengan ‘mengikuti Kristus’ bagi orang lainnya.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk menapaki jalan-Mu. Amin.


HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS B/1
Minggu, 30 Mei 2021

Ul 4,32-34.39-40
Rm 8,14-17
Mat 28,16-20

Posting 2018: Puasa, Berkah atau Musibah 
Posting 2015: Manusia Tritunggal