Hidup Berdampak

Berhubung hari ini kesiangan lagi, saya contek khotbah tetangga saja deh. Dimulainya dengan pêté, cuma ceritanya beda dengan versi saya. Saya cerita versi saya saja. Konon di sebuah warung makan yang sangat laris di kalangan mahasiswa/i, duduklah saya bersama kerabat dan handai taulan untuk makan nasi goreng legendaris [piye jal nasi goreng saja bisa legendaris]. Karena warung ini laris, memang di situ tak ada tempat duduk yang kosong, selalu terisi pengunjung baru kalau ada yang selesai makan.

Suatu kali, kami amati ada pengunjung yang langsung mendatangi asisten juru masaknya untuk memesan makanan dan kami agak terperanjat karena pengunjung ini berjilbab dan dia menyerahkan orderannya sambil berbisik-bisik dengan menutupkan tangannya pada mulut seperti kalau orang nggosip gitu deh. Saya kira dia pesan menu haram di warung itu (meskipun saya cari-cari kok sepertinya gak ada yang haram di situ; ya mungkin justru karena itu perlu bisik-bisik).

Setelah beberapa saat, menu siap diantar ke meja pemesan tetapi rupanya si asisten ini lupa siapa yang pesan. “Ini tadi yang pesan nasi goreng pêté siapa ya?” Jawaban kilat muncul dari mahasiswi berjilbab tadi,”Yaaaa kok malah diumumin sih?” dan saya malah tertawa karena sudah salah sangka dan jebulnya mahasiswi ini malu ketahuan bahwa dia pesan nasi goreng pêté. Apa sih sebetulnya dosa si pêté ini ya?

Lain lagi cerita nostalgia SMA. Kami punya waktu studi setelah makan malam selama satu jam dari jam delapan sampai jam sembilan. Kami semua di kelas dan suasananya benar-benar hening sehingga kalau ada yang perutnya main keroncong saja suaranya seperti petir di siang buntet. Nah, selagi kami serius studi itu, tiba-tiba pintu kelas kami dibuka, padahal kami semua tak ada yang di luar kelas. Spontan kami semua melihat ke arah pintu dan tersembullah sebuah kepala yang mulutnya terbuka dan “Hah, hah, hah” lalu kepala itu menghilang sebelum pintu ditutup, dan kami semua kompak berteriak (meskipun tidak kencang karena waktu hening itu) menyerapahi pemilik kepala tadi. Dia rupanya makan pêté dan aroma itulah yang memenuhi seisi ruangan kelas kami. Sontoloyo pancèn.

Meskipun demikian, kira-kira begitulah kalau orang Katolik mengimani Tubuh dan Darah Kristus yang dirayakan hari ini. Saya tidak menyamakan Tubuh dan Darah Kristus dengan pêté, tetapi tak mungkinlah orang percaya kepada Tubuh dan Darah Kristus kalau hidupnya tak memberi dampak, tak berdampak, tak transformatif. Mengimani Tubuh dan Darah Kristus hanya berarti jika orang ditransformasi sedemikian rupa sehingga hidupnya sejalan dengan Sabda Allah yang juga pada gilirannya memberi dampak pada kualitas hidup di sekitarnya.

Tentu saja, dampak yang dimaksudkan di sini bukan dampak seperti aroma pêté tadi, melainkan dampak yang memungkinkan orang punya keberanian untuk mengorbankan kepentingan dirinya demi kebaikan bersama. Kalau terpaksanya mau populer ya monggo, tapi jangan notoriousWis gitu aja ya; lain waktu sambung dengan jengkol mungkin ya.

Tuhan, mohon rahmat kekuatan supaya hidup kami sungguh berdampak bagi kebaikan bersama. Amin.


HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS B/2
3 Juni 2018

Kel 24,3-8
Ibr 9,11-15
Mrk 14,12-16.22-26

Posting 2015: Awas Takhayul