Tak Usah Kĕsusu

Sekali lagi, tak bosan-bosannya saya mengulang kata-kata Antoine de Saint-Exupéry yang dilekatkannya pada mulut Sang Pangeran Cilik: What is essential is invisible to the eye! Kali terakhir saya sitir tahun lalu pada posting Receh Tapi Penting. Kali ini, ungkapan itu saya pakai untuk memetik pesan teks bacaan hari ini mengenai benih, sebagai perumpamaan mengenai Kerajaan Allah.

Intermezzo: Ada sebagian orang yang salah paham mengenai Kerajaan Allah ini sebagai Surga kelak setelah kematian. Ini masih ketambahan salah paham orang terhadap wacana tentang pajak Kaisar seperti diulas dalam posting Cinta Pertama, sehingga beranggapan bahwa Guru dari Nazareth ini cuma memikirkan perkara kerohanian. Sudah begitu, kerohanian pun disalahpahami juga sebagai kesalehan individual. (Padahal, kerohanian itu justru adalah perkara konkretisasi Kerajaan Allah, soal yang mental jadi berwujud material.)

Kembali ke ungkapan Antoine de Saint-Exupéry, orang dapat bermawas diri bahwa tatapan orang tertuju pada sensasi alih-alih esensi. Ini bagian dari insting orang. Cobalah Anda yang hobi kuliner periksa sendiri: pada momen mana Anda melihat jerih payah puluhan atau ratusan orang yang terlibat dalam penyajian makanan yang Anda santap. Pada mereka yang hobi traveling, pada momen apa mereka menyadari keterlibatan banyak pihak sehingga objek eksotik yang mereka kunjungi itu bisa tercipta. Pastinya bukan pada saat terpukaw atau terpikat objek-objek tadi! Soalnya, kalau kesadaran itu muncul pada saat menyantap makanan terlezat atau menikmati pemandangan eksotik, momen itu jadi momen reflektif, bukan lagi momen kuliner atau traveling.

Tentu saja, masih mending bahwa kemudian orang mau mengambil waktu reflektif atau doa atas seluruh sensasi yang dinikmatinya. Sebagian besar orang barangkali tidak mau tahu prosesnya. “Gua kagak mau tau pokoknya elu kudu bla bla bla dan bli bli bli!” Dengan modal seperti itu (pokoknya, gak mau tau), bukan Kerajaan Allah lagi yang dipromosikan. Barangkali ilustrasi yang gampang dimengerti adalah bagaimana para guru agama mengajar anak-anaknya atau bahkan orang tua mendidik produk pabrikannya sendiri.

Tak sedikit dari mereka ini yang mendidik seakan-akan anak-anak itu semua harus mengikuti pikiran guru atau orang tua mereka sampai sedetail-detailnya. Padahal, juga dalam teks Quran (Al-Baqarah, 2: 257) dikatakan There is no compulsion in religion. Kalau tak ada kompulsi, semestinya Allahlah yang menjadi main processornya. Urusan guru agama, orang tua hanyalah menyuarakan Kabar Gembira, Kebenaran, atau apa pun istilahnya. Tentu saja, dalam hidup beriman, ini urusan semua orang beriman.

Yang dituntut darinya paling-paling ya ketabahan atau kesabaran: tak usah buru-buru hendak mengukur, menilai, menghakimi, melihat hasilnya. Kenapa? Karena what is essential is invisible to the eye tadi! Alih-alih kĕsusu (terburu-buru) gitu, lebih baik mawas diri: apakah yang diajarkannya, yang diperbuatnya, yang ditanamkannya itu sungguh benih Kerajaan Allah, Hukum Allah, atau benih kerajaannya sendiri; apakah pendekatan, metode, caranya juga mencerminkan kerahiman atau cinta Allah kepada makhluk-Nya. Meyakini bahwa mendidik anak atau murid demi kebaikan hidup mereka tanpa mawas diri atas motif dan cara mendidik itu sendiri adalah naif.

Tuhan, mohon rahmat kesabaran supaya semata benih Kerajaan cinta-Mulah yang kami taburkan. Amin.


HARI MINGGU BIASA XI B/1
13 Juni 2021

Yeh 17,22-24
2Kor 5,6-10
Mrk 4,26-34

Posting 2015: Berminat Jadi Polisi Gereja?