Cinta Pertama

Saya merasa bosan mengulas teks Injil yang dibacakan hari ini; wong sudah setiap 17 Agustus dibacakan. Jadi, sejak 2014, sudah tujuh kali, belum lagi kalau ditambah pembacaan pada hari Minggu XXIX kalender liturgi Gereja Katolik, sekurang-kurangnya ada 14 kali.
Yaela, Rom, itu baru 14 kali dalam tujuh tahun. Istri [atau suami deh] saya ini loh hampir tiap malam ngorok selama tujuh tahun, tapi saya gak bosan tuh.🤣
Lha iya, itu karena Anda tidak mengulas perkara ngoroknya setiap malam. Cobalah mengulas hal ngorok-mengorok itu barang seminggu saja, bisa jadi piring terbang ke mana-mana atau panci penyok-penyok.🤭

Itu cuma cara saya untuk mengatakan bahwa perasaan itu bersifat netral, sesuatu yang muncul karena mekanisme psikis biologis, yang perlu diakui saja keberadaannya. Merasa bosan, marah, jengkel, dan sebagainya, secara moral bukanlah sesuatu yang jahat. Lain perkaranya jika perasaan diwujudkan sebagai emosi untuk merusak fasilitas umum, merusak relasi, merusak rumah tangga tetangga, dan seterusnya. Salah kaprahnya ialah bahwa orang yang menata perasaannya supaya tak keluar sebagai emosi dianggap munafik. Padahal, kemunafikan adalah perkara motif (busuk, berlawanan dengan yang ditampakkan) tersembunyi di balik kata dan perbuatan heroik.

Teks bacaan hari ini menyajikan orang-orang munafik yang hendak menjebak Guru dari Nazareth dengan perkara bayar pajak kepada Kaisar. Persoalan detailnya sudah saya bahas pada posting Relasi Allah dan Kaisar, Dunia Orang Merdeka, atau yang ada gambarnya pada posting Berapa Koinmu. Kenapa munafik? Karena modus mereka, menyembunyikan niat jahat di balik pujian yang dilontarkan, terlepas dari apakah mereka merasa marah, jengkel, atau bosan terhadap sepak terjang Guru dari Nazareth. Tanggapan Sang Guru kerap disitir banyak orang, tetapi juga dipakai untuk berbagai macam kepentingan: Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.

Saya hendak kembali ke catatan terakhir saya pada posting Dunia Orang Merdeka di bulan Agustus lalu. Nuansa kata kerja ‘memberi’ saya ambil dari dunia video editing, yaitu to render. Hari ini saya ambil dari bahasa Italia: restituire, yang berarti mengembalikan. Jadi, barangkali terjemahan yang lebih akurat bukan ‘berikanlah kepada Kaisar’, melainkan ‘kembalikanlah kepada Kaisar’, dan seterusnya. Dengan begitu, orang tak perlu bertele-tele menafsirkannya sebagai pemisahan antara urusan agama dan politik. Ini soal empan papan saja: kalau hidupmu disokong oleh politik, ya berpolitiklah baik-baik, tak usah munafik. Kalau hidupmu ditopang oleh sistem ekonomi tertentu, ya hidupilah sistem ekonomi itu baik-baik, tak perlu munafik.

Akan tetapi, klausa kedua sangat penting: kembalikanlah seluruhnya kepada Allah karena biar bagaimana juga, sistem politik dan ekonomi itu eksis karena Allah terlebih dahulu memberi kehidupan ini. Semuanya mestilah dikembalikan kepada-Nya, cinta pertama manusia.
Saya menyinggung ini karena ndelalahnya kemarin saya pas membaca uraian tokoh internasional yang menafsirkan teks ini sebagai pemisahan urusan duniawi dan surgawi. IMHO, kalau mau menghubungkan dengan perkara ini, semestinya penafsir mempertimbangkan teks lain yang berbunyi kurang lebih “Kerajaanku BUKAN DARI dunia ini” yang kerap disalahtafsirkan dengan kalimat “Kerajaanku BUKAN DI dunia ini”. Itu jelas tetot besar.

Tapi sudahlah. Hari ini saya cuma mau menunjukkan melesetnya terjemahan ‘berikanlah’ karena…. nemo dat quod non habet (tiada orang memberikan sesuatu yang dia tak punya). Siapa manusia sehingga dia bisa berlagak memberikan sesuatu kepada Allah?
Tuhan, mohon rahmat kerelaan hati untuk mengembalikan setiap nafas kehidupan kami pada cinta dan belas kasih-Mu
. Amin.


MINGGU BIASA XXIX A/2
18 Oktober 2020

Yes 45,1.4-6
1Tes 1,1-5b
Mat 22,15-21

Minggu Biasa XXIX A/1 2017: Malah Bikin Macet 
Minggu Biasa XXIX A/2 2014: Jadi Revolusi Mental Gak Ya?

1 reply

  1. 🤫nature vs nurture, mns hanya tau belajar/mencontoh dg anugrah akal budi. Mns seperti halnya Adam tdk tau mencinta. Mns lah cinta pertamanya Tuhan. Dlm PL Allah terlalu keras, jd mns kabur. Allah patah hati, kehilangan cintaNya, lalu ‘sadar’ dlm PB. Memperbaiki relasi cintaNya dg mns. Absurd? 🙃🙃🙃😁

    Like