Dunia Orang Merdeka

Semua orang, sebagai makhluk sosial, sewajarnya berkontribusi bagi kehidupan bersama. Salah satunya dengan pembayaran pajak seturut ketentuan yang berlaku. Apakah ketentuan itu wajar atau tidak, masih bisa dikaji. Konteks narasi bacaan hari ini adalah keadaan ketertindasan bangsa Israel. Konon, separuh dari pendapatan mesti disetorkan sebagai pajak. Ada pajak profesi. Pajak transaksi. Ada juga pajak per capita, untuk laki-laki berusia 14-65 tahun dan perempuan berusia 12-65 tahun. Sepertinya tidak besar, setahun sebesar satu dinar per kepala. Satu dinar itu kira-kira ya besaran upah harian profesional. Kelihatannya kecil, tapi kalau dihitung per kepala ya lumayan juga bagi yang menanggung (banyak) kepala lain.

Perpajakan terakhir inilah yang kiranya jadi rujukan orang-orang Farisi dan pengikut Herodes untuk menjebak Guru dari Nazareth. Maklum, ini adalah persoalan sensitif; menolak pembayaran pajak per capita ini bisa dianggap sebagai provokasi untuk melakukan pemberontakan. Konsekuensinya, provokator dan kaum pemberontak bisa dihabisi oleh penguasa rezim kekaisaran Romawi. Ini sudah ada presedennya pada saat Guru dari Nazareth ini masih seumuran anak TK atau SD. Mungkin Anda masih ingat, salah satu tuduhan yang ditujukan kepada Guru dari Nazareth di hadapan Pilatus ialah bahwa beliau melarang orang Israel membayar pajak kepada Kaisar. Itu bukan cuma perundungan, melainkan tuduhan palsu yang bisa berakibat fatal.

Menariknya, dua kelompok orang itu sebetulnya saling beroposisi, tetapi toh bisa bersekongkol melawan Guru dari Nazareth karena ajaran dan sepak terjang beliau ini benar-benar menggugat kualitas mereka yang serupa: munafik. Lihatlah kalimat pertama sebelum mereka melontarkan pertanyaan. Memuji dulu kualitas pribadi Guru dari Nazareth yang tak seperti umumnya rakyat terjajah, yang kesulitan untuk berkata secara terus terang karena berisiko dilaporkan kepada penguasa atau difitnah, dan sejenisnya. Kalimat pertama itu berfungsi untuk mendesak Guru dari Nazareth supaya menjawab pertanyaan mereka dengan model yes-no. Oh, ini sudah saya bahas pada posting Berapa Koinmu ding. Pokoknya, ini bukan soal pembayaran pajak, melainkan soal memberikan upeti dengan mata uang kekaisaran.

Jebulnya, Guru dari Nazareth ya tidak punya mata uang kekaisaran itu, dan memang mata uang itu sebetulnya tidak begitu populer di kalangan orang Yahudi karena berkonotasi merendahkan Allah, satu-satunya yang mereka sembah sebagai Yang Ilahi. Maka, ditunjukkanlah dinar itu kepada sang Guru dan beliau mempertanyakan dua hal: gambar dan tulisan pada koin itu. Bagi orang Yahudi, gambar dan tulisan itu terasosiasikan dengan larangan untuk membikin patung, imaji, atau hal yang rentan dipertuhankan.

Jawaban sang Guru memindah rel pertanyaan orang Farisi dan pengikut Herodes. Pertanyaannya memakai kata kerja ‘memberikan’, tetapi jawabannya memakai kata imperatif ἀπόδοτε (apodote, Yunani) yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan dengan kata to render. Anda yang akrab dengan video editing kiranya tahu maksud rendering: suatu proses pengumpulan data yang berujung pada produksi imaji. Dinar itu jelaslah produk imaji Tiberius. Alhasil, Guru dari Nazareth seakan-akan menjawab begini,”Kalau kamu mau membangun imaji Kaisar, ya pakailah koin itu. Akan tetapi, kalau kamu mau membangun imaji Allah, kamu tahu, Allah meletakkan imaji-Nya dalam kemanusiaan.”

Betul. Imaji Allah Israel tidak diletakkan pada dinar, tetapi pada pribadi manusia. Pengenalan Allah tidak dirintis lewat uang (75 ribu misalnya), tetapi melalui manusia beriman. Kalau orang melakukan rendering dengan mamon, ia membangun imaji kekaisaran yang berlandaskan uang. Ini kiranya bukan dunia yang dikehendaki Allah. Ini tidak mengatakan bahwa sang Guru menganggap uang tak berguna. Ini soal dunia macam mana yang semestinya dibangun umat beriman: dunia orang-orang merdeka, yang tak diperbudak oleh imaji-imaji seperti dibangun oleh kekaisaran tadi (survival of the fittest, penjajahan, dominasi, kekerasan, dan sejenisnya).

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya dapat membangun imaji-Mu dalam hidup keseharian kami. Amin.


HARI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
(Senin Biasa XX A/2)
17 Agustus 2020

Sir 10,1-8
1Ptr 2,13-17
Mat 22,15-21

Posting 2019: Hari Gini Bela Negara?
Posting 2018: Berapa Koinmu?
Posting 2017: Semoga Cepat Gemuk
Posting 2016: Warga Negara Ganda

Posting 2015: Rombongan Tujuh Belasan

Posting 2014: Merdeka Brow!

2 replies

  1. Halo Romo

    Tahun 1922, sebelum sumpah pemuda dan Indonesia belum merdeka, ada seorang Belanda asli berkata “Setiap orang tahu , kami para misionaris, ingin bertindak sebagai penengah, tetapi setiap orang tahu juga bahwa seandainya terjadi suatu perpecahan, walaupun hal itu tidak kami harapkan, sedangkan kami terpaksa harus memilih , maka kami akan berdiri di pihak golongan pribumi” ( Fransiscus Georgius Yosephus van Lith SJ )

    Suatu warisan nilai kemanusiaan dan keadilan, dan bagi saya yang pribumi ini tentu menjadi warisan nasionalisme..

    #imajikemanusiaan 🙏🙏

    Tetap Merdieekaaahhh ya Ramaaa🇮🇩🇮🇩🇮🇩

    Like