Dengan dua judul berturut-turut “Ndhèrèk Langkung” dan “Dunia Orang Merdeka” kemarin, insight bacaan hari ini mungkin sudah bisa dikondisikan sejak awal: hendaklah semua properti duniawi, entah sedikit atau banyak, tak menyeret orang beriman untuk numpang lewat dengan jadi pribadi yang sungguh merdeka. Jadi, sebetulnya ya sudah cukup itu saja, tak usah dijabarkan lagi.
Akan tetapi, selain karena ada yang protes kalau saya cuma tulis beberapa kalimat, sudah pernah saya singgung juga bahwa when you take things for granted, the things you are granted, get taken. Kalau suatu bangsa menganggap kemerdekaan sebagai sesuatu yang taken for granted, kemerdekaan itu sendiri bisa kehilangan makna karena bangsa itu cuma melihat kemerdekaan semata sebagai kondisi terbebasnya dari penjajahan, atau penjajahan cuma dilihat sebagai aneksasi bangsa asing. Orang bisa tanpa sadar menganggap ketidakadilan yang dibuat oleh anak bangsa sendiri adalah hal yang lumrah, dan tak tergolong sebagai penjajahan.
Pun, jika orang bisa melihat bahwa penjajahan bisa dilakukan oleh anak bangsa sendiri, orang bisa luput menyadari bahwa anak bangsa itu tidak selalu berarti orang lain, tetapi juga dirinya sendiri. Lha, orang begini inilah yang tak mengerti bahwa kemerdekaan itu bukan semata perkara membebaskan diri dari kungkungan orang lain, melainkan juga soal membebaskan diri dari kungkungan tempurungnya sendiri. Yang pertama sering diistilahkan dengan frase “bebas dari”, sedangkan yang kedua “bebas untuk”. Ini sudah pernah disinggung dalam posting Jangan Lupa Bahagia. Tanpa mengabaikan kebebasan tipe pertama, orang beriman senantiasa menggumuli kebebasan tipe kedua: sejauh mana dia memiliki kebebasan untuk mengikuti (jalan) Tuhan.
Bacaan hari ini adalah kelanjutan dari episode seorang muda kaya raya yang bertanya kepada Guru dari Nazareth soal hal baik apa yang mesti diperbuatnya supaya ia memperoleh hidup kekal. Sang Guru pertama-tama menyodorkan hukum moral, hablum minanas (hubungan dengan manusia lain), yang bersinggungan dengan hidup bersama di dunia ini. Anak muda itu menjawab bahwa semua perintah berkenaan dengan hukum moral itu sudah dijalankannya. Ini rupanya anak muda yang beragama baik-baik jika diukur dengan pemenuhan aturan agamanya. Dia terbebaskan dari godaan luar dan tak melakukan apa yang secara moral tak sesuai dengan perintah Allah.
Akan tetapi, ketika sang Guru menyodorkan sesuatu yang berkenaan dengan hukum ilahi, hablum minallah (hubungan dengan Allah), anak muda ini mundur teratur. Artinya, ia tak sanggup menghubungkan antara hablum minanas dan hablum minallah. Hidup ini dipandangnya semata sebagai perkara hablum minanas, bahkan kalau itu adalah doa, sedekah, ritual, dan sejenisnya. Artinya, doa dan lain-lainnya itu tak berakar dalam hati dan menggerakkannya untuk mengikuti (jalan) Tuhan: ini perkara aturan agama belaka, yang tidak membebaskannya untuk sungguh melibatkan diri dalam hidup bersama. Lha piyé maning, hidupnya tertambat oleh cara pikir duniawi belaka.
Ironisnya, cara pikir itu juga disodorkan oleh murid-murid Guru dari Nazareth sendiri dengan pertanyaan mereka: njuk kami ini yang sudah meninggalkan segalanya, bakal dapat apa?
Sebelas dua belas, mereka juga seperti anak muda kaya itu, meskipun sudah selangkah lebih maju: hati mereka belum merdeka untuk bekerja bersama Allah. Kalau para murid saja begitu, bisa dimaklumi kalau Anda dan saya belum sungguh-sungguh merdeka untuk bekerja bersama Allah; kebiasaan mendapat reward dari manusia lebih menggiurkan daripada kebahagiaan batin tindak mengikuti (jalan) Tuhannya sendiri.
Tuhan, mohon rahmat kemerdekaan untuk menghidupi pola kerja-Mu dalam kerecehan hidup kami. Amin.
SELASA BIASA XX A/2
18 Agustus 2020
Selasa Biasa XX A/1 2018: Enjoy Aja Lagi
Selasa Biasa XX C/2 2016: Lagi-lagi Duit
Selasa Biasa XX A/2 2014: What’s Wrong with Being Rich?
Categories: Daily Reflection