Kalau Anda menilai orang lain, Anda tidak menunjukkan kenyataan orang lain, tetapi memaparkan perspektif Anda. Apalagi, kalau Anda mengevaluasi Allah: yang tidak mendengarkan, tidak peduli, tidak adil, atau sebaliknya: mahabijak, mahaadil, peduli, pendengar, dan seterusnya. Entah negatif atau positif, penilaian terhadap Allah tidak menyatakan hakikat Allahnya sendiri, tetapi mempertontonkan cara penilaian, perspektif, sudut pandang, cakrawala wawasan Anda sendiri. Misalnya, Anda menganggap Allah begitu peduli karena segala kebutuhan Anda terpenuhi. Itu tentu bukan karena Allah memang begitu peduli, melainkan karena konsep kepedulian Anda diukur dengan pemenuhan kebutuhan Anda. Anda mau bilang apa kalau bertemu orang yang sepanjang hidup kebutuhannya tak pernah keturutan? Tetap Allah peduli? Njuk kriterianya apa dong menyebut Allah peduli? Itu berarti “Allah peduli” bergantung pada kriteria kepedulian Anda, bukan?
Begitu pula kalau pembaca mengasosiasikan Allah dengan tuan rumah yang mencari pekerja dalam perumpamaan teks bacaan hari ini. Pertanyaan yang sangat normal muncul adalah soal keadilan tuan rumah yang membayar sama rata semua pekerja, baik yang bekerja selama 12 jam maupun satu jam. Pigimana mana mungkin yang kerja di kebon berpeluh kepanasan dibayar sama dengan orang yang baru kerja setelah hampir senja? Itu tidak fair, bahkan meskipun setiap pekerja sudah sepakat dibayar satu dinar. Kenapa? Karena perjanjian itu dibuat secara bilateral, padahal yang bekerja tidak cuma satu orang; dengan demikian, info bahwa kalau kerja mulai jam lima sore pun dapat satu dinar tak ada di kepala pekerja yang kerja sejak pagi. Tau gitu mulai kerja jam lima aja, kan?
Akan tetapi, teks bacaan ini memang tidak sedang membahas keadilan Allah. Kalau hendak dimengerti sebagai wacana mengenai karakter Allah pun, perumpamaan ini menyodorkan kemurahhatian Allah, lebih daripada perkara keadilan-Nya. Nah, seperti sudah disinggung dalam paragraf awal, kemurahhatian Allah bukan sesuatu yang ada ‘di luar sana’, yang bisa Anda evaluasi dengan kriteria logika Anda sendiri, melainkan sesuatu ‘di dalam sini’ yang terhubung dengan Allah itu.
Maksudnya gimana sih, Rom, susah amat ngertinya.
Iya sabar, saya juga belon tau gimana menjelaskannya.🤭
Kemurahhatian tuan rumah tidak terletak pada satu dinar yang dibayarkannya kepada pekerja upahan, tetapi pada upayanya setiap waktu untuk mencari siapa saja supaya sebelum malam hari hidupnya menghasilkan sesuatu. Hasil ini bukan dinar, melainkan bekerjanya itu sendiri (bdk. pertanyaan: ngapain kamu nganggur saja?). Bahwa pekerja cuma pikir soal upah, itu perkara lain lagi, tetapi pokoknya tuan rumah itu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan maksud supaya tak ada yang nganggur doang dalam hidupnya.
Tentu saja, dalam konteks hidup beriman, ini bukan lagi perkara Anda bekerja sebagai komisaris Pertamini atau komikus sepeda mini, melainkan perkara bagaimana Anda menghayati iman Anda sebagai manifestasi kemurahhatian-Nya. Tak ada orang yang dari dirinya sendiri bisa beriman, apa pun agamanya. Allah yang murah hati hanya bermakna sejauh orang menghayati imannya sebagai kemurahhatian Allah tadi. Syukur yang muncul dari situ tak mungkin membuatnya iri, bahkan kalau ia tidak memperoleh karunia seperti yang dilimpahkan Allah kepada orang lain.
Ya Allah, mampukan kami untuk bersyukur atas kemurahhatian-Mu. Amin.
RABU BIASA XX A/2
19 Agustus 2020
Rabu Biasa XX B/2 2018: Sirik Aja Lu
Rabu Biasa XX A/2 2014: Just Do What You Do!
Categories: Daily Reflection