Saya tak tahu apakah sebagian besar keluarga zaman now bisa makan malam bersama di rumah atau apes-apesnya di rumah makan. Saya kira, itu sangat menyenangkan (kalau tidak menyebalkan, bergantung relasi orang-orangnya di situ), dan mungkin bisa jadi cerminan hidup keluarga di zaman Guru dari Nazareth. Katanya, keluarga-keluarga di sana itu setiap malam membagi-bagi roti yang mereka punya untuk disantap bersama dan pintu rumah mereka mesti dibiarkan terbuka; jaga-jaga kalau ada orang yang membutuhkan roti untuk dimakan, dan itu artinya memang ada preseden bahwa orang datang meminta roti untuk makan.
Praktik makan seperti itu memang terjadi pada zaman kekunoan, tetapi sebetulnya prinsipnya memanifestasikan dunia baru yang ditawarkan Guru dari Nazareth. Dunia baru itu dicirikan oleh keramahan sejati yang mengasumsikan persaudaraan universal tanpa sekat agama, suku, bangsa, dan seterusnya. Prinsip itu juga tampak misalnya dalam praktik keranjang gantung yang pernah saya tuliskan beberapa bulan yang lalu. Siapa saja boleh menaruh roti kelebihan pembeliannya bagi siapa saja yang membutuhkan. Yang membutuhkan pun akan datang meminta tanpa kekhawatiran sedang tongpes atau takut tak bisa membayar.
Undangan jamuan pesta mantenan dalam perumpamaan hari ini sesungguhnya adalah undangan untuk masuk dalam dunia baru seperti itu. Latar belakang penulisannya saya kira ialah bahwa jemaat Matius yang mengklaim sudah jadi pengikut Guru dari Nazareth itu pun jebulnya masih mengakrabi dunia lama: dunia kompetisi, dunia sektarian, dunia egoisme, dan sejenisnya. Maka, kalau pesta pun, pertama-tama mikir perutnya sendiri, seakan-akan perut orang lain layak diabaikan. Binatang memang bertindak dengan paradigma seperti itu (sekurang-kurangnya begitu pengalaman saya memberi makan ayam dan ikan, tak ada yang selagi mau makan menyodorkan makanannya kepada yang lain dulu). Binatang yang berakal budi semestinya punya perbedaan dari cara bertindak seperti itu. Akan tetapi, apa mau dikata, Matius mendapati juga di kalangan orang beragama, dunia lama masih populer.
Pada masa hidup Guru dari Nazareth, orang mengenal dua dunia: yang aktual sekarang ini dan yang akan datang. Yang aktual rupanya tak begitu nyaman karena paradigma dunia lama tadi: dulu-duluan selamat, dulu-duluan makan, bikin partisi kaum anu dan ras itu, dan sejenisnya. Maka, mereka meyakini suatu dunia yang akan datang, yang jauh lebih nyaman daripada dunia aktual yang penuh perseteruan. Kebaruan warta Guru dari Nazareth ialah dunia baru itu tidak diletakkan pada dunia ‘yang akan datang’. Jamuan pesta mantenan bukan tempat yang kelak akan datang, melainkan roh keramahtamahan dan hidup berbagi di sini dan sekarang ini.
Lha ya kalau mau dipraktikkan yang jujur mah ajur, Mo!
Lah, itu bukan karena jujurnya, melainkan karena mentalitas dunia lama yang dipelihara. Silakan lihat contoh receh uang 75 ribu yang diributkan warganet karena memuat pakaian Cina. Yo’olooo, njuk ngopo gituloh. Makin kelihatan sektarian, makin kelihatan rasis, gimana mau membangun dunia baru yang mengasumsikan persaudaraan kolaboratif dengan semangat berbagi dalam pesta perjamuan kehidupan?
Tuhan, ajarilah kami untuk membangun persaudaraan yang tak membiarkan kami mengambil alih peran-Mu sebagai Allah bagi semua orang. Amin.
Kamis Biasa XX A/2
Pw S. Bernardus, Abas
20 Agustus 2020
Kamis Biasa XX B/2 2018: Ikut Pesta, Ikut nJoged
Kamis Biasa XX C/2 2016: Life’s A Banquet
Kamis Biasa XX A/2 2014: Ayo Pesta…(atau Perang?)
Categories: Daily Reflection