Saya melakukan snorkeling pertama kali tahun 2011 di Gili Air, Lombok. Tak ada instruktur yang mengajari saya bagaimana menggunakan snorkel itu, dan saya kira perlengkapan snorkeling yang saya pakai itu agak primitif. Hanya kacamata renang dan sedotan plastik ukuran besar gitu. Hidung dan mulut tak tertutupi apa-apa, tetapi mulut mesti menggigit sedotannya. Saya cuma mengerti satu prinsip saat itu: jangan pernah bernafas memakai hidung!
Saya berjongkok dan menenggelamkan kepala ke air pantai untuk bernafas melalui sedotan besar dan mengeluarkan nafas lewat hidung. Tak sampai satu menit kemudian saya meluncur ke sana kemari kegirangan melihat ikan warna warni tanpa memikirkan atau mengingat-ingat untuk tidak bernafas melalui hidung.
Prinsip yang sama saya terapkan untuk menghadapi pandemi ini. Saya mengerti bahwa memakai masker yang benar itu ya semestinya menutupi area hidung dan mulut; mosok nutupi hidung dan telinga (itu mah perban). Akan tetapi, saya tahu diri bahwa saya cukup sensitif dengan pernafasan ketika berolah raga. Dulu saya senang treadmill sampai akhirnya saya tidak merasa nyaman karena sirkulasi udara yang kurang baik di area treadmill. Pun kalau di samping peranti treadmill itu disediakan tiramisu, saya lebih memilih tiramisunya.🤣
Pokoknya, jogging atau lari ya mesti outdoor supaya saya bisa menghirup anugerah Allah yang sangat vital itu. Maka, pada saat jogging, saya selalu menurunkan masker sehingga hidung masih dapat membuang udara dan mulut tetap dapat menghirup udara. Ini saya buat di pagi hari ketika jalanan masih sepi dan, karenanya, jaga jarak tak diperlukan lagi.
Saya tidak bermaksud memberi contoh soal pemakaian masker yang benar karena bisa jadi pemakaian masker saya itu menuai kritik. Akan tetapi, saya tunjukkan bagaimana hewan berakal budi seperti saya bisa mengambil suatu prinsip dan menerapkannya dalam konteks dan situasi yang berbeda. Itu pula yang dilakukan Guru dari Nazareth ketika beliau berhadapan dengan ahli Taurat yang bersoal jawab dengannya. Sang Guru ini tidak naif untuk terlibat dalam diskusi dengan ahli Taurat itu seakan-akan lawan bicaranya sungguh-sungguh ingin berdiskusi untuk mencari kebenaran. Penulis teks bacaan hari ini jelas menunjukkan bahwa ahli Taurat itu menanyai Guru dari Nazareth untuk mencobainya. Ahli Taurat ada dalam posisi untuk membenarkan dirinya dan mempersalahkan Guru dari Nazareth.
Sang Guru kiranya tahu jawaban yang dimaksud ahli Taurat itu ialah hukum Sabat, dan kalau beliau menjawab begitu, jawabannya jadi sasaran empuk bagi serangan ahli kemunafikan itu,”Kalau begitu, mengapa engkau dan murid-muridmu kerap melanggarnya?”
Alih-alih menyodorkan jawaban yang ada di kepala ahli Taurat itu, sang Guru membungkusnya dengan prinsip yang menggeret ahli Taurat untuk melihat konteks yang lebih luas daripada sekadar taat aturan, bahkan menaati hukum Tuhan. Di kepala sang Guru ini, saya kira, ada paradigma bahwa manusia tidak diciptakan untuk menaati perintah-perintah Allah, tetapi untuk memoles dirinya supaya jadi gambar Allah yang sejati: yang memberi nafas kehidupan karena cinta-Nya.
Alhasil, benar kata Augustinus: love and do whatever you want. Lebih banyak orang berfokus pada yang kedua dan abai terhadap mandat pertama, atau paling banter hanya mengandaikan cintanya sendiri.
Tuhan, ajarilah kami senantiasa bahasa cinta-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XX A/2
Pw S. Pius X, Paus
21 Agustus 2020
Jumat Biasa XX C/2 2016: Hadiah
Categories: Daily Reflection