Anda tentu sering melihat orang yang sebelum berkendara, sebelum naik kendaraan umum, sebelum memulai pekerjaan, mendaraskan basmalah atau membuat tanda salib atau apa deh yang dimaksudkan untuk memulai pekerjaan baik-baik dan mohon rida Allah dan keselamatan dari-Nya. Saya senang melihat atau mendengarnya dan itu sekaligus juga menyadarkan saya akan sakralitas dunia yang fana ini. Akan tetapi, suatu kebiasaan baik disebut baik bukan karena sifat kompulsifnya, melainkan karena dilakukan dalam kesadaran. Kalau sifatnya kompulsif, karena kebiasaan wajib, kira-kira yang terjadi seperti klip berikut ini:
Itu tentu video Katolik garis lucu, yang cukuplah ditertawakan, tak usah dibahas serius. Akan tetapi, sifat kompulsif juga bisa membahayakan. Misalnya, ada seorang pengendara motor tanpa tuas kopling yang secara mendadak menghentikan motornya setelah baru beberapa meter memacu kencang motornya. Apa yang dibuatnya? Tanda salib! Hadeeeeuh…. tidak bisakah membuat tanda salib batin? Akui saja lupa melakukannya dan mohon keselamatan Allah dalam hati. Bisa, kan? Adakah bunyi perintah Allah yang mengharuskan makhluk-Nya membuat tanda salib dengan tangan kanan sehingga harus melepaskan tangan dari gas? Gak ada. Itu bikinan manusia sendiri!
Tapi coba, andaikan pengendara motor tadi tertabrak mobil dari belakang dan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal! Apa katanya? Ya sudah takdir, sudah kehendak-Nya, sudah suratan-Nya, dan bla-bla-bla lainnya yang intinya ya kemunafikan yang dibahas kemarin itu. Menutupi kelalaian dan melemparkan tanggung jawab kehidupan kepada Tuhan. Apa namanya kalau bukan munafik?🤭 Kemunafikan selalu erat terkait dengan identitas kulit atau label, dan jika orang tertambat pada identitas kulit seperti ini, adanya cuma ilmu perbandingan yang membuat kulit yang satu dianggap lebih jelek atau lebih benar daripada kulit yang lain.
Teks bacaan hari ini dengan sangat mudah bisa ditafsirkan (dengan eisegesis, alih-alih eksegesis) dengan perspektif identitas kulit luar tadi. “Mengakui Kristus” direduksi dan diidentikkan dengan membuat tanda salib di ruang publik, memasang patung salib di sekolah, atau bahkan diidentikkan dengan agama Kristen/Katolik. dan sejenisnya. Tentu saja, saya tak bermaksud menolak identitas kulit seperti itu (meskipun pernah saya tulis Inikah Identitas Imam?), tetapi penting bahwa identitas itu diterima sebagai identitas kulit, yang sifatnya fana.
Pernah terjadi seorang ibu muda yang terluput dari gendam ketika hendak memasuki mobilnya. Penggendam belum beranjak jauh ketika ibu muda ini berteriak memanggil sang copet dan orang-orang di sekitarnya berhasil meringkus copet itu. Kebiasaan tanda salib dan basmalah bisa membantu kesadaran orang beragama, dan memang itulah yang diharapkan. Akan tetapi, bisa terjadi sebaliknya: kesadaran orang beragama terkubur oleh kebiasaan kompulsifnya. Tanda salib, misalnya, bisa jadi lebih penting daripada kesadaran hidup di hadirat Allahnya sendiri, lebih penting daripada Roh Allahnya sendiri, yang bisa mengambil manifestasi dalam beragam cara, dalam agama mana pun.
Jadi, mengakui Kristus di depan manusia adalah perkara hidup di hadirat Allah, perkara keterarahan kesadaran orang pada Allah YME, lebih daripada mengumbar eksklusivitas sarana-sarana yang fana.
Tuhan, mohon rahmat kesadaran supaya perilaku kami senantiasa jadi wujud pengakuan hidup di hadirat-Mu. min.
SABTU BIASA XXVIII A/2
Pw S. Ignasius dari Antiokhia
17 Oktober 2020
Sabtu Biasa XXVIII B/2 2018: Srawung Digital
Sabtu Biasa XXVIII C/2 2016: Tiada Ampun Bagimu
Sabtu Biasa XXVIII B/1 2015: Agama Ateis
Categories: Daily Reflection