Semakin orang dewasa dalam beriman, semakin ia terserap oleh yang esensial. Semakin kekanak-kanakan imannya, semakin ia terperangkap oleh yang superfisial. Yang lebih mengerikan lagi ialah bahwa ia bisa menganggap yang superfisial itu sebagai yang esensial. Celakanya, yang lebih mengerikan inilah yang pada kenyataannya menjadi virus di mana-mana: orang memaksakan yang kasatmata sebagai sesuatu yang esensial. Padahal, sudah beberapa kali saya sitir dalam blog ini kata-kata Antoine de Saint-Exupéry: what is essential is invisible to the eye!
Dalam hal ini, saya sangat bisa mengerti mengapa umat Islam sangat alert terhadap gambar dan patung. Pengertian saya mengenai umat Islam bisa keliru, tetapi saya tidak ragu bahwa yang kasatmata tetaplah berpotensi menyesatkan. Ini tidak hendak menyangkal bahwa gambar dan patung bisa membantu, tetapi menunjukkan sisi lain dari potensi gambar dan patung itu. Tabu untuk menampilkan gambar Nabi Muhammad, menurut saya, tak lain untuk membantu umat Islam untuk tidak mendewakan, mempertuhankan, membuat suatu kultus individu. Pemuliaan Nabi justru terjadi ketika orang beriman punya keterarahan dan kepasrahan kepada Allah yang senantiasa diajarkan beliau sendiri.
Bukankah juga diajarkan Guru dari Nazareth,”Jika kamu mencintai Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”? Tafsir teks ini (yang bisa jadi disalahtafsirkan sebagai relasi hirarkis) sudah saya singgung dalam posting Citra Cinta. Tidak tersirat dalam ayat itu supaya orang membuat gambar atau patung untuk membantu mengenangkan peristiwa hidupnya, bukan? Gambar dan patung muncul dari keinginan orang di kemudian hari untuk mengenangkan, mengabadikannya. Maksudnya tentu baik, tetapi sekali lagi, potensi penyesatan tidak hilang dari situ, sebagaimana jauh hari sebelumnya umat Israel membuat patung berhala. Membuat yang kasatmata sebagai sesuatu yang esensial. Ini nonsense, tetapi itulah yang terjadi; dan kesalahpahaman bisa berlangsung di sana sini.
Ndelalahnya, kemarin sore terjadilah problem listrik di tempat tinggal saya, dan komputer kerja saya ancur ya ancur. Dengan berat hati saya install dari nol, tetapi rupanya kerusakan menyerang juga VGA adapter, sehingga sampai detik ini saya berharap semoga masih ada toko komputer yang buka hari ini.
Nah, itu berarti contoh bahwa yang kelihatan itu juga penting, kan, Rom?😂
Betul, saya juga tidak mengatakan bahwa yang superfisial itu tidak penting. Bisa jadi orang butuh hal receh untuk sampai kepada yang esensial, tetapi itu tidak mengatakan bahwa yang receh adalah yang esensial, kan?
Tanpa VGA adapter, saya tak bisa bekerja, tetapi yang esensial bukanlah VGA adapternya, melainkan apa yang ada dalam benak saya (makanya saya masih bisa cari komputer lain di rumah untuk sekadar blogging🤣). Begitu seterusnya sehingga yang esensial bukan lagi apa yang ada dalam benak saya dan Anda, melainkan ‘roh’ yang membelakangi benak Anda dan saya itu.
Kalau begitu, teks hari ini, yang bagi orang Kristiani berbunyi “berdoa dalam nama Yesus” tidak bisa dikurung dalam kotak “gambar dan patung Yesus”, tetapi dalam terang “menuruti segala perintah-Ku” tadi. Artinya, “berdoa dalam nama Yesus” bukanlah per sé perkara meneriakkan “dalam nama Yesus”, melainkan soal ikhtiar merealisasikan kehendak Allah. Pengandaiannya, orang kepo terhadap kehendak Allah yang esensial bagi hidupnya dan terus mencarinya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk senantiasa mencari dan menemukan kehendak-Mu dalam hidup receh kami. Amin.
SABTU PASKA VI
23 Mei 2020
Posting 2019: Mbak Pia
Posting 2018: Doa Kerja 3.0
Posting 2017: God Loves You
Posting 2016: Aaaaamiiiiiiinnnnnn…
Posting 2015: Isra’ Mi’raj nan Meneguhkan
Categories: Daily Reflection