Menang Lagi

Jadi, deal ya bahwa kebangkitan beda dari reanimasi?
Loh, ujug-ujug kok langsung kesimpulan.😂 Iya, soalnya ini sudah tulisan ke sekian kalinya mengenai kebangkitan yang dirayakan sebagai peristiwa iman, dan sayangnya sebagian orang malah memperdebatkannya daripada belajar daripadanya. Reanimasi itu seperti dalam film-film kalau orang sudah tak bernafas lalu dipacu supaya bisa bernafas, atau mungkin orang yang mati suri beberapa saat, atau bahkan seperti dinarasikan dalam Injil Yohanes beberapa bab sebelum bab yang dibacakan pada hari ini: Lazarus yang sudah tiga hari, sudah definitif berada dalam dunia orang mati. Anggapan Lazarus bangkit dari mati adalah contoh salah kaprah, tapi memang masalahnya tidak ada kata tunggal dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkan reanimasi itu. CMIIW.

Untuk memahami kebangkitan yang berbeda dari reanimasi itu barangkali bisa juga dipakai gambaran janin kembar dalam rahim yang mengalami jeda waktu kelahiran. Dalam rahim yang segala kebutuhan terpenuhi itu si janin bergembira ria. Ketika saudaranya pergi meninggalkan rahim, si janin yang di dalam mungkin berpikir bahwa saudaranya itu mati, masuk ke dunia yang tak terjamin kehidupannya. Pada kenyataannya, malah janin yang meninggalkan rahim itu bisa bertatap muka dengan pemilik rahim yang baru saja ditinggalkannya. Begitulah kebangkitan: bukan kembali lagi ke dalam rahim nan sempit, melainkan masuk ke dalam rahim kehidupan yang maha luas.

Maka dari itu, juga kalau Idul Fitri dimaknai sebagai hari kemenangan, kemenangannya bagaikan orang yang mengalami kebangkitan, yang keluar dari tempurung hidup yang sempit dan masuk ke dalam semesta yang lebih agung. Tiga puluh hari berpuasa hanyalah transisi supaya orang beriman bisa menangkap suatu kehidupan yang lebih agung daripada tempurung pemikirannya sendiri, lebih megah daripada kesenangannya sendiri, lebih kaya daripada kebiasaannya sendiri, lebih hidup daripada keasikan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini mendapatkan pahala ibadah puasanya. Tentu saja, di sana sini mesti ada yang masih terkungkung oleh kebiasaan, pemikiran, kesenangan, keasikan, ambisinya sendiri. Mendapat momen emas, malah mengais tembaga. Punya kesempatan langka, malah melestarikan prasangka. Ya mau gimana lagi, setiap orang punya tahapannya sendiri untuk memaknai kemenangan atau memahami kebangkitan.

Saya tidak ingat apakah saya pernah menghubungkan teks bacaan hari ini dengan kata-kata Irenaeus: Gloria Dei Homo Vivens. Kemuliaan Allah ada dalam diri orang-orang yang menang, yang bangkit, yang hidupnya bersinar dan merdeka dan kecintaannya kepada Allah senantiasa menambahkan harapannya kembali: bukan kembali ke belakang, melainkan kembali kelak boleh mengalami kemenangan lagi. Seperti janin yang meninggalkan rahim tadi, kemenangan orang beriman terletak pada disposisinya untuk menyambut, merangkul kebaruan yang tidak perlu dipertentangkan dengan tradisi atau kebiasaan lama, tetapi dipersepsi sebagai pengayaan tradisi. Pun kalau orang beragama, ia beragama sungguh dengan kemerdekaan untuk berkomunikasi dengan Allah dan sesama dengan sarana yang tersedia di sekelilingnya.

Blokade komunikasi tidak terletak pada sesuatu “di luar sana”, tetapi “di dalam sini” yang menjadi mental block orang beragama: ketakutan, kekhawatiran, kemaruk, kemarahan, keirihatian, dan seterusnya yang tak terkelola selama bulan suci. Selamat berhari raya Idul Fitri, semoga boleh menjadi berkat bagi semakin banyak makhluk-Nya. Amin. Amin. Amin.


MINGGU PASKA VII A
Hari Minggu Komunikasi Sedunia
Hari Raya Idul Fitri
24 Mei 2020

Kis 1,12-14
1Ptr 4,13-16
Yoh 17,1-11a

Posting 2017: Mau Tunggu sampai Pensiun?
Posting 2014: Sursum Corda