Dalam keadaan krisis seperti pandemi, orang beriman dipanggil untuk merawat sikap batin iman kepercayaannya dengan cara luar biasa, di luar apa yang biasanya dilakukan. Kalau pandemi tak mengubah kebiasaan dalam merawat sikap iman, malah pantas dicurigai jangan-jangan ketaatan imannya bersifat ideologis dan orangnya jadi robot, tanpa kemerdekaan. Tentu saja, orang boleh memilih untuk tetap hidup tanpa kemerdekaan. Orang lain boleh melarangnya, tetapi bukankah akhirnya orang bebas memilih bahkan untuk hidup tanpa kebebasan?
Krisis memang bisa jadi bahaya yang membuat ambyar kehidupan, tetapi juga menyodorkan kesempatan bagi suatu cakrawala baru tentang kecerdasan dan cinta. Konon, kata krisis dalam bahasa Mandarin (危机, wēi jī) memuat dua unsur: bahaya (危险, wēi xiăn) dan kesempatan atau kebetulan (机 会, jī huì [itu mengapa kalau orang dapat kesempatan njuk berujar cihuyyyyy, ya’é🤭]). Ndelalahnya, dalam bahasa Yunani, kata κρίνω (krínō) berarti memilih atau memutuskan sehingga κρίσις (krísis) pun berarti perkara orang memilah dan memilih untuk memutuskan sesuatu. Nah, soal sesuatunya itu kembali ke kebiasaan atau keluarbiasaan, berpulang kepada subjeknya masing-masing. Saya tidak mengatakan bahwa kebiasaan itu jelek, tetapi kalau pada masa krisis orang tak menemukan keluarbiasaan, krisis itu tak ada artinya.
Teks bacaan hari ini merefleksikan bagaimana Guru dari Nazareth, meskipun ditinggalkan murid-muridnya pada saat genting, tidak mengalami kesendirian. Kenapa? Karena beliau memperluas cakrawala kebersamaannya bukan lagi dalam ubyang-ubyung alias hang out bersama murid-muridnya, melainkan dalam relasi intim dengan Tuhannya. Kalau di zaman itu sudah ada teknologi canggih pun, saya yakin, beliau tidak akan hang out bersama murid-muridnya secara virtual dengan webinar atau aplikasi hang out rame-rame. Beliau menapaki jalannya tidak dengan mengandalkan kehadiran fisik murid-muridnya, tetapi dengan relasi intim dengan Tuhannya tadi.
New normal faith adalah jalan yang dipersaksikan Guru dari Nazareth dalam kesendiriannya menanggung kerasnya hidup dengan kecintaannya pada Allah dan sesama. Kecintaan kepada Allah dan sesama itu panggilan normal semua orang beriman. Kebaruannya ialah bahwa beliau menghayati panggilan itu bukan dalam kehangatan relasi dengan para muridnya, yang mayoritas mengikuti ajarannya sebisa mereka, melainkan dalam kepanasan benci yang diakomodasi pengkhianat yang tak lain ialah muridnya sendiri. Membangun identitas guru dalam lingkaran muridnya, dan sebaliknya, adalah sesuatu yang normal, termasuk segala ritual dan amal yang disepakati. Di mana barunya?
Saya terkesan pada refleksi imam besar Istiqlal, Bpk. KH Nasaruddin Umar, yang menyoroti kegalfokan orang beriman dengan peristiwa sehari-hari: ibu-ibu bisa saja ke pasar bukan karena butuh berasnya, melainkan ke pasarnya sendiri sudah jadi kewajiban ritual. Itu mengapa juga ada sebagian umat beragama yang begitu sensi terhadap larangan ibadat di tempat ibadat dengan menyimpulkan bahwa beribadat dilarang. Kelompok orang seperti ini tak mungkin menangkap new normal faith karena iman baginya hanyalah ritual bersama di tempat ibadat, seakan lupa bahwa mengupayakan kesehatan, kesejahteraan bersama adalah ibadah yang jauh lebih penting.
Saya sungguh berharap semoga semakin banyak orang yang mengalami fitrah dalam relasi intim dengan Allahnya, dan tidak dikacaukan oleh kecanggihan teknologi yang memberi jalan ke arah lain. Amin.
HARI SENIN PASKA VII
25 Mei 2020
Posting 2019: In Memoriam Mbak Ani
Posting 2017: Manusia Pecah Belah
Posting 2016: Mengukur Iman
Posting 2015: Arogansi Pengikut Kristus
Posting 2014: Sebetulnya Paham Gak Sih?
Categories: Daily Reflection