Sebagian orang menghubungkan konsep herd immunity dengan tagar #Indonesiaterserah sebagai tindakan bunuh diri massal ala killing me softly. “Saya tidak rela menjadi hakim atas perkara yang demikian,” begitu dikatakan dalam teks bacaan pertama. Saya tetap lebih percaya bahwa manusia punya insting kehidupan yang lebih kuat daripada insting kematian. Perkara pilihan-pilihannya sinkron dengan insting yang mana, itu soal lain lagi, karena setiap orang punya kadar integritasnya sendiri-sendiri. Kalaulah seragam integritas semua orang ini, entah rendah atau tinggi, kiamat telah terjadi. Cuman, selagi dunia masih berputar, sebaiknya tak menyusahkan diri dengan kenyataan keragaman integritas itu. Cukup upayakan integritas diri, siapa tahu kuatlah resonansi. Saya ingat pesan seorang guru rohani India berdarah Spanyol: jangan bangunkan babi yang (maunya) tidur.
Teks bacaan hari ini tidak membahas soal babi, tetapi soal hati. Teksnya sama seperti sebelumnya, tetapi hari ini saya dibantu untuk melihat suatu koneksi antara kesehatan dan kebahagiaan.
Jelas toh, Rom? Orang sehat ya bahagia. Sakit tidak bahagia.
Lha justru itu yang mau saya persoalkan: apa bahagia itu bergantung pada kesehatan?
Sebelum melahirkan, umumnya ibu-ibu memeriksakan kesehatannya ke dokter. Katanya bahkan mata juga perlu diperiksa. Apa jal hubungannya antara mata di atas dan janin di bawah (ibu-ibunya posisi berdiri tentunya)? Ternyata, untuk bisa melahirkan bayi baik-baik, dibutuhkan kesehatan yang cukup untuk mengejan alias ngěděn yang lebih dahsyat daripada BAB. Kalau otot atau syaraf di mata lemah, itu berbahaya bagi sang ibu untuk melahirkan anaknya dengan jalan ngěděn, kecuali kalau dia mau ngédan.
Nah, itu berarti orang sehat bahagia dan supaya bisa bahagia orang mesti butuh sehat kan, Rom?
Kalau kebahagiaan itu perkara perasaan, mungkin begitu halnya. Akan tetapi, mari kita buka-bukaan saja, mumpung ini perkara ibu-ibu melahirkan [ada buka-bukaannya segala]: pada poin mana sesungguhnya ibu-ibu melahirkan ini bahagia? Pada kesehatannya atau pada kelahiran makhluk baru dari rahimnya?
Tentu, seperti biasa, Anda kemaruk: ya dua-duanya, Rom!😂😂😂
Sekarang, andaikan ibu-ibu itu dinyatakan tidak bisa ngěděn dan berarti mesti operasi sesar, apakah ibu-ibu ini bahagia?
Ya bahagia, Rom, tapi tidak sebahagia kalau melahirkan biasa.😁
Memang Anda itu kemaruk kok.🤣
Tapi baiklah saya belajar dari kemaruk Anda: kebahagiaan ibu-ibu itu ada dalam keseluruhan proses. Entah persalinan caesarian atau per vaginam, keduanya bertujuan menghadirkan makhluk baru anugerah Allah; dan itu artinya meskipun ibu-ibu tak sehat, tetap bisa bahagia dalam proses persalinan itu, bukan? Berarti, kemaruk Anda tadi perlu ditafsirkan ulang: kebahagiaan merangkul hasil dan proses, yang bisa memuat kondisi sehat atau tidak sehat. Dengan kata lain, orang bisa bahagia bahkan meskipun kondisinya tidak fit atau kurang sehat.
Singkatnya, lingkaran “suka-duka”, “terang-gelap”, “sehat-sakit”, “perjumpaan-perpisahan”, dan lain-lainnya tetap mengundang ikhtiar orang. Ini bukan perkara habis gelap otomatis muncul terang, melainkan perkara orang berikhtiar, membuat pilihan-pilihan, sarana, yang merujuk pada kebahagiaan. Perkara ikhtiar orang beragam, ya itu tadi: tak usah bersusah payah ngěděn membangunkan babi yang (maunya) tidur. Ini bukan perkara herd immunity Indonesia terserah, per carità, plis deh. Setiap orang semestinya berikhtiar, yang karenanya kebahagiaan hidupnya takkan dirampas oleh kelemahan ikhtiar orang lain.
Tuhan, jadikanlah kami selalu menyerahkan jerih payah kami dalam genggaman cinta-Mu, yang kadang terasa manis-manis pahit. Amin.
JUMAT PASKA VI
22 Mei 2020
Posting 2018: Toleran Anak Yang Manis
Posting 2017: Bunuh Teroris?
Posting 2016: Bahagia Yang Lupa Derita
Posting 2015: Produsen Kebahagiaan
Posting 2014: Demi Kebaikan, Jangan Takut!
Categories: Daily Reflection