Fair Play

Published by

on

Allah mengampuni dosa manusia tanpa syarat. Maksudnya, manusia tidak harus minta ampun dulu baru Allah mengampuni dosa-dosanya. Begitu juga, Anda tidak harus dibaptis dulu jadi Katolik dan kemudian datang ke bilik pengakuan dosa supaya Allah mengampuni dosa-dosa Anda. Bukan begitu konsepnya. Saya pernah bagikan cerita bilik pengakuan pada posting ngaku dosa apa gunanya. Di situ tidak berlaku cara berpikir modern hitam-putih mengenai dosa; alih-alih begitu, dosa lebih dimengerti sebagai luputnya hidup manusia dari “jalan lurus” keselamatan Allah, yang juga tidak bisa dimengerti secara hitam putih dengan pencerahan Descartes cogito (kojito bacanya ya) ergo sum. Barangkali posting Hutang atau On Target bisa menggambarkannya secara lebih baik.

Dengan begitu, jika dikatakan Allah mengampuni dosa manusia tanpa syarat, itu berarti bahwa apa pun, bagaimana pun, sebesar apa pun, sejahat apa pun, Allah tetaplah mengampuni dosa manusia. Maksudnya, Allah tetaplah menarik pendosa-pendosa itu keluar dari track yang bikin hidupnya off target, tidak happy, tidak bermakna, dan sejenisnya.

Jadi, persoalannya bukan lagi berat-ringannya dosa manusia, melainkan bagaimana Allah menarik pendosa keluar dari jalur yang menyesatkan hidupnya.
Nah, gimana tuh Rom, Allah mengampuni aneka macam dosa manusia?
Langsung saya jawab dengan perspektif teks bacaan hari ini: dengan Roh Kudus-Nya, yang ditanamkan dalam hati setiap insan.  Roh Kudus inilah yang berperan dalam hidup manusia untuk bergerak on target pada kebahagiaan sesungguhnya.

Tak mengherankan, jika manusia menista Roh Kudus, melawan Roh Kudus, itu artinya ia mematikan fungsi on target tadi, menonaktifkan fitur autocorrect yang memungkinkan tuntunan Allah itu mengembalikan orang pada ‘jalan lurus’ keselamatan. Dengan kata lain, jika orang melawan Roh Kudus, gimana Allah mengampuninya? Gak bisa. Ini bukan karena Allah tidak mengampuni atau tidak mampu mengampuni atau pengampunannya bersyarat, melainkan karena jalur pengampunannya tak dipakai atau dilawan manusia sendiri. Lha piye jal pengampunan terjadi kalau begitu?

Pada kenyataannya, bacaan pertama menyodorkan tendensi manusia yang melawan kerja Roh Kudus itu: alih-alih mawas diri, manusia secara spontan mencari kambing hitam tragedi hidupnya di luar dirinya sendiri. Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular, yang kalau dirunut ujung-ujungnya manusia menyalahkan Tuhan atas tragedi hidupnya sendiri.

Bacaan Injil hari ini menyajikan perlawanan terhadap Roh Kudus secara berbeda, meskipun bisa dihubungkan juga dengan mekanisme cari kambing hitam pada pihak lain. Melawan Roh Kudus di sini berarti menarik orang pada kenyamanan masa lalu dan tak lagi adaptif terhadap aneka perubahan hidup. Di situ dilukiskan bahwa Yesus sedang berkumpul dengan banyak orang di Kapernaum dan jebulnya ibu dan saudara-saudaranya dari Nazareth hendak menjemput Yesus. Jelas maksudnya, mereka adalah keluarga atas dasar relasi klan di Nazareth, hubungan darah dan perkawinan: ibu biologis, saudara sepupu, om, keponakan, ipar, dan sebagainya.

Ngapain mereka menjemput Yesus? Karena mereka sudah dengar sepak terjang Yesus ini, yang bikin mereka cemas dan bahkan sebagian beranggapan dia tak waras lagi: menyinggung penguasa agama, penguasa politik, penentu izin usaha tambang #eh. Hanya orang sinting yang berani konflik dengan ahli Taurat, kaum Farisi, dan orang-orang lain yang membela status quo imperial Romawi! Hanya orang tak waras yang mengajarkan bahwa Allah Israel itu tak mengeksklusikan orang non-Yahudi dan bahkan memberi tempat istimewa mereka!

Di sini, Anda dapat mengimajinasikan dua latar kisah hari ini. Latar pertama diisi oleh keluarga biologis dan klan asal Yesus, yang adalah orang-orang taat pada warisan rohani leluhur mereka sejak zaman Musa. Yes, mereka adalah bangsa terpilih dengan tuntunan tradisi yang jelas lagi detail. Mau apa lagi dengan bangsa-bangsa lain yang tuhannya macam-macam? Latar kedua adalah komunitas baru yang sedang dibangun Yesus: yaitu mereka yang mendengarkan Kabar Baik, kabar pembebasan, yang terdiri dari siapa saja, tanpa pandang bulu atau rambut, apalagi agama, yang sungguh ingin membangun dunia baru berdasarkan Kabar Baik itu.

Tendensi status quo rupanya berpotensi jadi manifestasi perlawanan terhadap Roh Kudus karena bikin orang terjerembab pada keagungan masa lalu dalam ikatan-ikatan primordial. Tendensi itu mengabaikan Roh Kudus yang terus bergerak mencari jalan-jalan baru supaya semakin banyak orang mengalami pembebasan, kebahagiaan, hidup yang bermakna.
Sejarah Gereja Katolik menunjukkan adanya tendensi itu: sementara Konsili Vatikan II dengan pertimbangan lama dan mendalam untuk mereformasi diri, sebagian darinya justru menuduh Konsili tahun 1965 sebagai wujud kesesatan. Tak mengherankan, sebagian justru berupaya mengembalikan hidup Gereja pra-Konsili Vatikan II dengan praktik-praktik jadul yang tak bersahabat dengan aneka kebaruan hidup.

Jangan-jangan, juga Gereja Katolik sedang menyiapkan generasi cemas, seperti kata Iwan Fals, daripada generasi emas yang tangguh untuk beradaptasi dengan aneka tantangan. Syukurlah, belum lama ini ormasnya terang-terangan menolak benih-benih forum kerukunan umat beragama IUP. Setidak-tidaknya, letupan Roh yang tertuang dalam etika itu masih tampak dan semoga semakin banyak ormas yang meletupkannya atas dasar hati nurani yang jujur. Semoga di tengah-tengah mentalitas etika ndhasmu itu masih ada orang lain lagi yang menjunjung tinggi fair play sehingga semakin banyak orang dapat berpartisipasi untuk on target. Amin.


MINGGU BIASA X B/2
9 Juni 2024

Kej 3,9-15
2Kor 14,13-5,1
Mrk 3,20-35

Posting 2018: Menista Kemanusiaan

Previous Post
Next Post