Kemesraan

Published by

on

Anda yang berusia sekitar setengah abad mungkin masih ingat refren lagu “Kemesraan” yang juga dipopulerkan oleh Iwan Fals. Jika diadopsi dalam ranah politik, refren itu bisa jadi: Kekuasaan kita janganlah cepat berlalu. Itu tidak harus berarti tiga periode atau dinasti politik sih, tetapi poinnya memang dari sononya manusia cenderung melanggengkan kekuasaan. Ini bertentangan dengan nasihat salah satu komentator blog ini: Pahit jangan selalu dibuang, manis jangan selalu ditelan, karena kadang yang pahit itu penawar dan yang manis itu racun. Tentu, madu pun bisa jadi racun jika dikonsumsi secara keliru, bukan?

Teks bacaan hari ini dibuka dengan menampilkan tujuh tokoh sejarah yang dipakai penulisnya sebagai latar belakang narasinya: Tiberius, Pontius Pilatus, Herodes, Filipus, Lisanias, Hanas, dan Kayafas. Ini bukan sekadar latar belakang waktu, melainkan juga penegasan poin penulisnya: Firman Allah itu tidak datang pada para penguasa yang sukses dengan aneka upaya melanggengkan status quo mereka. Jangan lupa, nama-nama itu bukannya tak saling berhubungan. Ada nuansa KKN bin dinasti politiknya juga. Misalnya, dua nama terakhir menunjuk relasi mertua dan menantu; keduanya jadi imam besar.

Njuk kepada siapa Firman Allah itu datang? Dengan kata lain, setelah sekian lama Israel tak kunjung punya pemimpin yang profetis alias nabi, siapa yang berpotensi menerima Firman Allah itu? Namanya Yohanes, yang kelak jadi pembaptis.
Bagaimana Yohanes ini bisa menerima datangnya Firman Allah dalam dirinya? Teks menunjuk tempatnya: padang gurun. Anda dan saya bisa mengingat bagaimana Nabi Muhammad dan Musa menerima Firman Allah itu: di tempat yang sunyi. Baik padang gurun maupun Gunung Sinai atau Gunung Cahaya (Jabal Nur) juga pada masanya adalah tempat sunyi.
Dalam kesunyianlah Firman Allah itu hadir.

Akan tetapi, Firman Allah kiranya bisa hadir di mana saja. Jika dikatakan bahwa Firman Allah hadir dalam kesunyian, itu lebih menunjuk pada disposisi alias kondisi manusia yang menerima kehadiran-Nya. Tidak ada manusia berisik yang menerima kehadiran Sabda Tuhan ketika ia berisik dengan apa saja dalam dirinya: melanggengkan masa lalu, mengkhawatirkan masa depan, mengeluh masa kini, dan seterusnya. Karena waktu berpelukan dengan tempat, manusia berisik ini di sana sini tidak kerasan alias betah. Ada saja yang membuatnya berisik di sana sini, ada saja yang membuatnya berkeluh kesah tanpa secuil alasan untuk bersyukur.

Mengapa ya kira-kira? Mungkin karena manusia berisik pada dasarnya tidak betah dengan dirinya sendiri. Tak mengherankan, kesunyian adalah momok karena kesunyian memaksa orang tinggal dengan dirinya sendiri, badannya sendiri, pikirannya sendiri, ketakutannya sendiri dan seterusnya.
Yohanes rupanya terbiasa dengan padang gurun, yang membuatnya terampil berhadapan dengan dirinya sendiri. Jika orang kerasan dengan dirinya sendiri, ia lebih reseptif terhadap Sabda Tuhan. Sebaliknya, orang yang tidak kerasan dengan dirinya sendiri, tidak kerasan dengan siapa pun dan di mana pun dan cenderung lari pada yang membuatnya kerasan: kekuasaan. Mungkin itu mengapa manusia berisik tidak ingin kekuasaan cepat berlalu, tetapi lupa akan kekuasaan Tuhan. Kalaupun ingat, ia sudah terlanjur mengidap skizofrenia rohani.

Tuhan, mohon rahmat keheningan supaya hidup kami senantiasa adalah ungkapan syukur atas cinta-Mu Amin.


HARI MINGGU ADVEN II C/2
8 Desember 2024

Bar 5,1-9
Flp 1,4-6.8-11
Luk 3,1-6

Posting 2021: Hidup Sakral
Posting 2018: Tobat Jadi Presiden
Posting 2015: Allah Menipu?

Previous Post
Next Post