Semakin insani gambaran Allah, mungkin semakin ilahi juga hidup manusia. Sayangnya, mungkin dengan dalih menjaga kemurnian dan keilahian Allah, orang beragama bersikeras mempertahankan gambaran Allah yang superlatif karena hanya Dialah yang sempurna. Sekurang-kurangnya Kitab Suci orang Kristen memang menyajikan gambaran Allah seperti itu: Dia yang membebaskan bangsa Israel, membantu aneksasi tanah terjanji, mengalahkan nabi-nabi dewa kafir. Akan tetapi, disodorkan juga gambaran Allah yang lebih lembut: tempat bernaung, gembala, dan seterusnya. Gambaran ini menunjukkan Allah yang secara afektif terlibat dalam hidup manusia sebagai suatu kaum.
Nabi pertama yang menyodorkan gambaran Allah secara lebih afektif lagi mungkin adalah Hosea, yang menunjukkan kesetiaan Allah bahkan meskipun bangsa manusia hidup seperti perempuan sundal yang diperistrinya. “Aku akan menjadikan engkau istri-Ku untuk selama-lamanya dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan sayang, dalam kesetiaan sehingga engkau akan mengenal Tuhan.” (bdk. Hos 2,19-20). Teks bacaan pertama hari ini ditutup dengan kalimat “Sebab seperti seorang muda belia menjadi suami seorang anak dara, demikianlah Dia yang membangun engkau akan menjadi suamimu, dan seperti girang hatinya seorang mempelai melihat pengantin perempuan, demikianlah Allahmu akan girang hati atasmu.” (Yes 62,5 ITB). Yeremia menyerukan suara Allah yang teringat pada “kasihmu pada waktu mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya.” (Yer 2,2).
Begitulah kiranya gambaran relasi Allah-manusia yang disejajarkan dengan relasi perkawinan: bukan relasi subordinatif tuan-hamba, client-patron, bos-jongos, dan sejenisnya. Teks bacaan utama hari ini juga menyodorkan gambaran Allah-manusia dengan merujuk suasana pesta perkawinan. Pertanyaan bisa disisipkan di sini: apakah relasi Anda dan saya dengan Allah itu lebih dihayati sebagai relasi subordinatif bos-karyawan atau relasi perkawinan?
Anda dan saya tak perlu menikah dulu untuk menjawab pertanyaan itu! Cukuplah dengan menyelisik gambaran Allah dan sikap batin kita sendiri: apakah hidup Anda dan saya didominasi oleh ketakutan akan hukuman Allah? Apakah Anda dan saya mengidealkan meritokrasi dalam relasi dengan Allah, transaksional, dengan cinta bersyarat?
Dalam Kitab Suci, mabuk karena anggur diharamkan (bdk. Sir 31,25), tetapi anggur sendiri adalah simbol kegembiraan cinta dan hidup. Kemabukan membuat kegembiraan jadi eksesif dan memisahkan orang dari realitas. Kitab Sirakh menegaskan bahwa anggur dan musik meriangkan hati meskipun filsafat lebih baik dari keduanya (bdk. Sir 40,20). Betul, dalam kultur Semitik, anggur merupakan kehidupan sejauh diminum secara terukur. Macam mana pula hidup manusia jika tak ada anggur baginya? Ia diciptakan untuk menggembirakan hati manusia! (Sir 31,27; Mzm 104,15) Allah sendiri digambarkan sebagai pemasok masakan perjamuan dengan anggur tua yang disaring endapannya (Yes 25,6).
Celakanya, relasi Israel dengan Allah seperti pesta manten tanpa anggur! Sayang, terjemahan teks bacaan hari ini agaknya juga bisa misleading. “Mereka kehabisan anggur” berkonotasi bahwa mereka semula punya anggur dan semuanya sudah habis diminum! Akan tetapi, dalam bahasa Yunani ditulis begini: Οἶνον οὐκ ἔχουσιν (oinon ouk ekousin). Itu artinya mereka memang tak punya anggur! Aneh, bukan? Bagaimana mungkin pesta tanpa anggur? Pada kenyataannya, itulah yang disinggung narasi Yohanes: praktik keagamaan tanpa anggur: bagaimana mungkin hidup keagamaan tidak membawa kegembiraan bagi siapa pun? Mungkin saja, jika agama itu terus mempromosikan gambaran Allah yang subordinatif terhadap manusia!
Sebetulnya dalam sejarah Israel ada kelompok orang yang menghayati relasi dengan Allah dengan kerangka relasi perkawinan (bdk. Mzm 16; 63, misalnya). Akan tetapi, kerohanian autentik itu kemudian di sekitar abad kedua sebelum Masehi, partai Farisi dan Saduki rupanya memopulerkan kerohanian lain yang sangat njelimet dengan ritual agama yang malah bikin orang beragama jadi was was bin gek gek salah, dilarang, dan seterusnya.
Siapa yang menyadari kondisi itu? Ibu Yesus! Akan tetapi, tidak disebut namanya dalam Injil: itulah ibu Mesias, yaitu Israel. Ibu Yesus adalah sebagian Israel (tentu Maria termasuk di dalamnya) yang setia pada kerohanian autentik, dan sekelompok kaum ini punya resep jitu untuk mentransformasi hidup keagamaan tanpa anggur itu: mesti pergi ke Mesias. Jawaban Yesus: “Apa memang sudah tiba saat-Ku?”
Singkatnya, ibu Yesus bilang ke pelayan, yaitu mereka yang terdisposisi untuk mengikuti petunyuk Mesias: isilah itu 6 (angka tak sempurna, kurang satu) tempayan dengan air! Itu tempayan untuk ritual pembasuhan kaki. Karena pelayan mengikuti sabda Mesias tadi, air itu bukan lagi air ritual pembasuhan kaki, melainkan sabda Yesus sendiri: dan itulah anggurnya!
Ironisnya, pemimpin pesta, yaitu para pemuka agama, tidak ngeh bahwa hidup keagamaan mereka itu tanpa anggur! Agama nan menyedihkan, yang selalu ribet dengan aneka ritual demi ritualnya sendiri. Mereka tak tertarik pada kerohanian autentik umatnya; yang penting bisnis jalan, yang penting posisinya tak terusik, yang penting bisa mengeksekusi aturan bikinannya, dapat nama baik dari pembesar, dan seterusnya. Di hadapan Yesus, pemimpin pesta ini terhenyak karena si manten ini menyediakan anggur yang baik di saat akhir.
“Baik” dalam teks Yohanes dapat dipahami bukan sebagai kualitas anggur produksi tahun berapa diolah di mana, melainkan ‘keindahan’ dari hidup yang menggembirakan atas dasar petunyuk Mesias tadi. Betapa indah hidup ini ketika orang beragama tak terkungkung pada ritual individual atau kolosal, tetapi mengupayakan kesejahteraan sosial, yang tak mungkin digapai dengan kultur rent seeking seperti disinyalir Joseph Stiglitz, yang saya singgung kemarin. Asumsinya, orang berpaling kepada Sabda dengan relasi intim dengan Allah yang memungkinan hidup bak mantenan sepanjang zaman.
Tuhan, mohon rahmat pengertian mendalam akan cinta-Mu supaya kami dapat menikmati keindahan hidup bersama-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA II C/1
19 Januari 2025
Yes 62,1-5
1Kor 12,4-11
Yoh 2,1-11
Posting 2022: Pesta Orang Tua
Posting 2019: Behind the Scenes
Posting 2016: Pesta Nyuuuk
