Tahun Yubileum mencita-citakan pengembalian tanah kepada pemilik aslinya dan membebaskan orang-orang Israel yang diperbudak utang untuk kembali ke tanah mereka. Dengan begitu, tahun Yobel bin Yubileum merupakan hukum dan institusi ekonomi untuk menjamin alokasi tanah yang adil sesuai dengan kebutuhan umat Allah. Masa ini juga merupakan masa pembaruan ekologi melalui pelarangan kegiatan seperti menabur, menuai, dan memanen.
Sayangnya, program seperti itu tak mungkin digapai dalam kondisi kemiskinan, tawanan, dan kebutaan. Ini kerap disalahtafsirkan pembaca: orang miskin ialah mereka yang tak punya uang, orang tahanan adalah mereka yang dipenjara, dan orang buta ialah mereka salah satu atau kedua bola matanya tak berfungsi. Ada benarnya sih, cuma sedikit. Untuk memahaminya, Anda dan saya perlu melihat latar belakang teks bacaan utama hari ini.
Konon, di sekitar tahun 400-an sebelum Masehi, nabi-nabi diutus untuk mengendorse bangsa Israel kembali Israel dari wilayah Babilonia. Di Babilonia mereka bisa menjalani hidup terjamin karena lapangan kerja dan resources yang memadai. Hanya saja, para nabi menengarai bahwa gaya hidup mereka bisa membuat mereka lupa diri sebagai keturunan Abraham. Tidak semua mau kembali ke tanah Israel karena hidup di Babilonia itu sudah enak dan mapan. Mereka yang tidak berhasil di Babilonia akhirnya mau kembali ke Israel.
Akan tetapi, di tanah leluhur mereka itu sudah ada juga bangsa-bangsa asing (Amon, Moab). Tempat leluhur mereka itu seperti sudah luluh lantak dan bangsa asing itu membawa gaya hidup pagan yang tentu juga tak sejalan dengan arahan Abraham leluhur mereka. Di hadapan kenyataan itu, sulit bagi mereka untuk memulai hidup baru di tanah leluhur; seperti tak ada harapan, tak ada makna dan tujuan yang lebih nalar daripada kembali ke Babilonia mengadu peruntungan seperti kerabat mereka.
Kepada bangsa Israel itulah nabi yang diutus Allah menyatakan dirinya diutus untuk menyatakan penglihatan kepada orang buta, pembebasan bagi para tawanan, kabar baik bagi orang miskin.
Yesus memaknai teks yang dibacanya dalam konteks zaman ketika partai orang Farisi, Saduki, dan ahli-ahli Taurat itu berlagak seperti orang kaya. Memang mereka beruang, tetapi kekayaan yang dirujuk Yesus tampaknya lebih berkenaan dengan sikap hidup mereka yang merasa punya kekuatan untuk mengatur rahmat Tuhan. Artinya, mereka merasa safe dengan status quo hidup keagamaan mereka. Rahmat itu bisa dibeli dengan memenuhi aturan agama: memberi hewan persembahan, kolekte, puasa, dll. Mereka begitu yakin bahwa mereka mendapat ganjaran Allah.
Yesus mewartakan kabar gembira bukan kepada orang-orang kaya seperti itu, melainkan kepada orang miskin. Siapakah mereka? Ya Anda dan saya, semua orang, yang terbuka pada kenyataan bahwa dari Tuhan kita hanya bisa menerima dan bersyukur, tak perlu berlagak bahwa kita bisa memberi sesuatu kepada-Nya. Apa kabar gembiranya? Cinta tak bersyarat: kalau Dia baik, semata karena Dia baik, bukan karena rupa, kealiman atau sumbangan Anda. Pun jika Anda tak setia, Dia tetap setia!
Nah, kalo gitu di mana gembiranya, Rom? Akhirnya ya suka-suka orang, kan, mau baik atau jahat, wong Allah tetap setia?
Ya beda, bro’, karena orang yang terima kabar gembira itu gembira bukan karena tidak setia, melainkan karena paham sangkan paraning dumadinya, makna hidupnya, tujuan hidupnya. Orang macam begini tak tertawan cuan, tetapi memakainya untuk mewujudkan unconditional love tadi. Ia tak terbebani oleh aneka idol alias berhala masa lalu untuk mencinta.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk melihat sangkan paraning dumadi yang memerdekakan hidup kami. Amin.
HARI MINGGU BIASA III C/1
26 Januari 2025
Neh 8,3-5a.6-7.9-11
1Kor 12,12-30
Luk 1,1-4; 4,14-21
Posting 2022: Spirit Dhol
Posting 2019: Kebenaran Membebaskan
Posting 2016: Mohon Penjelasan Pak Pulisi
